Diberdayakan oleh Blogger.

Catatan Perjalanan Singkat

Bertambah usia idealnya bertambah pula kesadaran. Kesadaran adalah kondisi pikiran dan perasaan saat merespon suatu kejadian. Artinya, seseorang memiliki alasan ketika memutuskan sesuatu. Kondisi ini erat kaitannya dengan banyaknya pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh seiring perjalanan waktu. Ya, kurang lebih begitulah maksudnya.

Misal, anak TK yang seragam sekolahnya sobek di sekolah. Maka ia merasa takut pulang, takut dimarahi bapaknya. Namun ketika sudah SMP, dengan peristiwa yang sama, ia sudah tidak takut lagi, karena ia bisa minta tolong penjahit dekat rumah, atau bisa menjahitnya sendiri. Nah, respon anak TK dan SMP ini menjadi berbeda karena meluasnya kesadaran.

Hal ini pun bisa kita pahami terhadap fenomena pandemi ini. Orang ketika awal terjadi pandemi, mereka begitu takut. Panic buying diberitakan terjadi di banyak tempat. Tempat umum mendadak sepi, masker, handsanitizer, bahkan sekedar botol sabun kosong pun menjadi barang langka yang diburu.

Namun sekarang, ketika informasi sudah banyak diserap, pengalaman telah banyak dijalani, sehingga orang-orang sudah banyak yang tidak takut, meskipun virus masih ada dan bahkan bervariasi. Hal ini karena mereka tahu, bahwa melaksanakan 4M dapat menghindarkan mereka dari penularan. Pun alat penunjang telah banyak tersedia. Juga adanya kabar vaksin, dorongan pemenuhan kebutuhan hidup, dan lain sebagainya.

Pada wilayah yang lebih luas, kesadaran dapat mengembalikan orang pada fitrahnya, menjadi orang yang baik, selamat, dan menyelamatkan. 

Seseorang yang hari ini misalnya punya pengalaman dihukum karena pencurian, korupsi, dan tindakan yang sedemikian bermakna dalam hidupnya, maka ia telah memiliki kesadaran akan perbuatan tersebut. Sehingga atas pengalamannya itu, cara pandangnya berubah, cara 'merasa'-nya juga berubah. Andaikan kesadarannya saat ini dibawa ke masa ketika akan melakukan tindak pidana, tentu realita kini akan berbeda.

Maka dalam kehidupan orang sering mendengar, "patuhlah nasehat orangtua, mereka gak akan menjerumuskan kamu", ini karena mereka telah memiliki kesadaran yang lebih luas, atas sebab akibat keputusan yang hendak diambil. Mereka telah "mengalami", atau setidaknya mengambil pelajaran nyata dari pengalaman teman-temannya satu generasi.

Tapi kan biasanya anak-anak punya kesadaran mereka sendiri ya? yang tercermin dari ucapan, argumen, dan tindakan yang mereka putuskan. Hingga nantinya terjadi negosiasi dengan orangtua. Yang akhirnya keputusan yang diambil dipasrahkan kepada Tuhan yang Mahakuasa.

Ya, kesadaran akan selalu meningkat, lambat maupun cepat. 

Meningkatnya kesadaran membuat orang tersipu malu, membaca status medsosnya sepuluh tahun yang lalu, betapa kekanakan dan 'alay'-nya ia yang dulu.

Kesadaran menjadikan orang tawasuth (bersikap pertengahan), karena ia tahu, bahwa satu peristiwa yang terjadi, itu komponennya banyak sekali.

Kesadaran menyebabkan orang menyangkal atau mengiyakan
Kesadaran membuat orang melakukan atau mengurungkan
dan kesadaran menjadikan orang menangguhkan atau menyegerakan~

Ingat gelang karet dalam foto ini? Dulu populer ketika saya masih STM. Siapa pernah sangka, bahwa gelang karet ini konon dapat meningkatkan kekuatan, kesehatan, dan keberuntungan bagi yang mengenakannya. Hehehe...

Salam,
Agus Tri Yuniawan

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Umumnya untuk mendapat pekerjaan yang profit maka harus diawali dengan belajar giat. Untuk mendapat jodoh yang cakep, maka orang perlu memperhatikan penampilannya juga. Supaya sehat maka harus rajin olahraga, makan bergizi, dan pola hidup sehat. Agar menjadi terkenal, maka orang musti menghasilkan karya yang bagus serta konsisten., dan itu semua sudah menjadi kelumrahan, menjadi prosedur standar untuk berikhtiar.
 
Namun demikian, ada orang yang belajarnya biasa-biasa saja, tapi malah dapat pekerjaan yang bagus. Sementara ada orang yang dulunya ranking di kelas, nilainya bagus-bagus, eh sulit mendapat pekerjaan. Ada yang penampilannya ganteng, cantik, tapi gak nikah-nikah juga, asmaranya berliku-liku.

Disisi lain ada yang penampilannya pas-pasan, tapi malah 'laku' duluan, dapat pasangan, cakep lagi. Ada orang yang dulunya dihina, direndahkan, eh, sekarang malah moncer, tapi yang dulu dipuja-puja, sekarang hilang entah kemana. Ada yang divonis dokter umurnya tinggal sekian hari, tapi ternyata terus hidup sampai kini. Ada orang yang bugar sehat, tiba-tiba sekarat. Dan ada orang yang mengiklankan roti goreng saja, eh malah terkenal se-Indonesia dan menjadi duta kuliner.

Itu semua adalah bukti, bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Saat manusia terlalu menggenggam kaku egonya, Dia membuat pertunjukan-pertunjukan untuk "membenturkan" ego manusia dengan realita. Hingga manusia akan kembali menyandarkan akal dan rasa, bahwa Tuhan maha segalanya.

Kamu, yang merasa ahli ibadah, kemudian merasa pongah, bisa saja akhir hidupmu suul khatimah. Sementara mereka yang kau anggap rendah, lalu kau meneriaki kafir dan ahli bid'ah, bisa saja mereka mendapat hidayah, dan justru matinya husnul khatimah.
 
Manusia, tidak jelas ceritanya. Dikira A ternyata B, direncana C tapi kok jadinya E, diprediksi F eh malah lompat munculnya Z. "Menungso ki durung karuan", kata simbok. Kalau Tuhan menghendaki terjadi, mau apa kamu?

Salam,
Agus Tri Yuniawan

Sumber gambar: pngwafe.com, indozone.id, edited
Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar
Ide tulisan ini adalah ketika adegan Bu Tejo dan rombongan emak-emak diberhentikan oleh petugas polisi lalu-lintas. Mereka memang salah karena melanggar peraturan. Singkat cerita mereka berhasil lolos dari penilangan "berkat" omelan emak-emak tersebut. Poin tulisan ini endingnya bukan pada siapa yang benar dan salah, tetapi pada hikmah pada bagian adegan tersebut.

Bayangkan saja, jika Bu Tejo dan rombongan adalah emak-emak santun, tentu saja tilang tak bisa ditolak, dan acara tilikan bu lurah menjadi terhambat. Gotrek sebagai sopir pun pasti manut pada polisi, karena ia tahu peraturan, dan pasti tidak berani berargumen pada petugas, sama isterinya saja tunduk, ehehe...

Bu Tejo dengan cangkem elek-nya, memang ngeselin. Tapi berkat itulah ia bisa mengatasi satu tantangan yang menghadang.

Islam pada awal masa dakwah baru berani tampil sembunyi-sembunyi. Berkat garang-nya Sahabat Umar, maka preman-preman yang memusuhi Nabi mampu dihadapi.

Tentu pula beberapa dari kita pernah membaca cerita, tentang orang sok pintar yang bertanya "kalau setan dari api, gapapa dong dia dimasukkan neraka, kan unsurnya sama". Pernyataan tersebut sekilas benar, tapi menyesatkan. Maka jawaban dengan santun, sopan, alusan, tentu tidak bisa menyadarkannya. Akan terus dibantah, dicounter, didebat. Maka jawaban yang membuat mak-jlebb adalah dengan tamparan. Ketika ditanya alasannya, dijawab "tangan kan kulit, pipimu juga kulit, gimana, enak toh?!", baru paham. Ini cangkem elek.

Begitulah, kadang-kadang orang tidak tersadarkan karena nasihat, masukan, perhatian, tetapi justru bisa disadarkan dengan cletukan, omelan, dan... cangkem elek.

Maka ada ulama yang memiliki Gerakan Cangkem Elek, untuk mengcounter orang-orang yang merasa dirinya pintar, menafsirkan agama hanya dengan pikirannya saja, suka memaksakan pendapat, suka mendebat, dan menyalahkan orang lain. Maka hanya dengan cangkem elek dia bisa dilawan.

Punya tetangga Bu Tejo mungkin bikin risih. Tapi ketika perlu vokal untuk melawan ancaman di kampung, barangkali Bu Tejo lah yang akan berjasa. Dia punya keunikan yang demikian, untuk pelengkap dunia. Gusti Allah punya kuasa, menjadikan setiap makhluk yang dicipta mempunyai guna.

Selamat Tahun Baru Islam, 1442 Hijriyah.
Salam,
Agus Tri Yuniawan

Nb. Terjemahan Jawa
Cangkem        = mulut
Elek        = jelek

Sumber gambar: meme google images
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Tulisan ini terinspirasi dari teman-teman solidaritas pemuda di Dusun Plempoh Padukuhan Dawung, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelum masuk ke inti catatan, mari kita sepakati dulu definisi masing-masing. Totalitas artinya bersungguh-sungguh dalam melaksanakan pekerjaan, maksimal, mengerahkan semua sumber daya supaya pekerjaan yang dilakukan dapat ditunaikan dengan baik. Loyalitas artinya kesetiaan, menjalankan pekerjaan dengan baik, tidak mengumbar sisi negatif lingkup pekerjaan yang dijalani. Definisi dari mana itu? Ya definisi dari KBBI, dengan tambahan seperlunya, hehe.

Penulis mengamati, beberapa orang yang melaksanakan pekerjaan secara totalitas dan loyalitas, maka ia mengalami perbaikan dalam hidupnya. Kehidupannya semakin baik, semakin mapan, baik dari segi personal maupun finansial. Uniknya, perbaikan ini seringkali justru tidak berasal dari pekerjaan yang sedang ia kerjakan, melainkan dari jalur lain.

Sebagai contoh, sebut saja Kembang, nama samaran. Ia bekerja di tempat kerja A. Memang sih, disana gajinya tidak sebesar teman-temannya yang bekerja di tempat lain. Namun dia melaksanakan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh. Setiap pekerjaan dikerjakan dengan tuntas. Ia hampir tak pernah sambat, belum pernah terdengar ia etung-etungan, bahkan ketika harus melakukan pekerjaan di luar jam kerja.

Sikapnya tersebut tak lantas membuat gajinya naik berlipat-lipat, tetap saja segitu, karena memang tempat dia bekerja hanya mampu memberinya upah sesuai dengan perjanjian. Yang menarik adalah bahwa dia sesekali mendapat tambahan penghasilan dari luar. Ia menjadi kenal dengan banyak orang penting, dan orang-orang semakin mengenalnya sebagai orang yang baik dalam bekerja. Singkat cerita Kembang pun semakin mapan hidupnya, dan satu persatu kebutuhan hidupnya terpenuhi.

Hubungannya dengan teman-teman solidaritas Plempoh adalah, seringkali mereka melaksanakan pekerjaan kampung meski sampai pagi. Misalnya gotong royong ngecor jalan, rewang di tempat hajatan, mengurusi bolo pecah, ngelas memperbaiki barang-barang sewa seperti meja, kursi, panggung, dsb. Hanya kopi, camilan, dan kebersamaan yang membuat mereka betah. Mereka tidak dibayar, tetapi mau saja melakukannya. Berkaca dari pengalaman si Kembang, penulis yakin bahwa Tuhan akan memberikan takdir terbaik bagi mereka. Mereka yang mau bekerja dengan total dan setia. 

Pada zaman digital seperti sekarang ini, dimana ilmu dapat diperoleh dari banyak sumber, tak sedikit orang memiliki kepintaran diatas rata-rata. Namun sistem kehidupan tak melulu bergantung kepada orang yang pintar saja, melainkan kepada orang yang MAU bekerja. 

Pesanku kepada Kembang-Kembang muda, teruslah jaga nilai kebaikan dirimu dalam bekerja. Tancapkan "kontrak kerjamu" kepada Tuhan, hatimu terlalu berharga untuk kecewa. Biarkan nanti takdir baik yang akan menjelma. "Don't worry, uyee", kata Tony Q Rastafara.

Salam,
Agus Tri Yuniawan




Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
"Tamak adalah rasa ingin mendapatkan kepunyaan orang lain." Kita sepakati dulu ya definisi tersebut. Yang namanya makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari keberadaan orang lain. Aktifitas sosial meniscayakan orang melihat apa-apa yang dimiliki satu sama lain. Uang, kendaraan, pakaian, aksesoris, bahkan makanan. Itu semua adalah contoh kebutuhan sehari-hari manusia. Jika kebutuhan tersebut belum tercukupi, biasanya ada rasa ingin mendapatkan ketika membaur dengan orang lain.

Saya dan Zaid misalnya. Kami berteman. Zaid punya kebon di rumahnya. Disana ditanami pisang raja super, dan kebetulan sudah berbuah masak. Saya pun kebetulan suka banget makan buah pisang. Tapi mau beli di pasar kok sayang, eman. Oleh karenanya saya dolan ke rumah Zaid, dengan niat utama supaya dikasih pisang raja :d

Nah, ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa ada rasa tamak dalam hati saya. Dampak dari adanya rasa tersebut adalah saya menjadi kurang enjoy ketika dolan, saat srawung. Pikiran selalu tertuju pada momen dikasih pisang. Manakala beneran dikasih, maka saya menjadi senang. Sebaliknya saya pun kecewa jika ternyata tidak mendapatkan apa yang saya niatkan. Inilah dampak rasa tamak. Perasaan menjadi 'terkurung' pada 'keinginan mendapatkan', akhirnya jatuh pada kekecewaan manakala gagal mendapatkan.

Jika ditarik dalam kehidupan yang lebih luas, kira-kira seperti inilah yang mungkin akan kita rasakan. Bagaimana menghadapinya? Ada dua cara yang dapat kita lakukan. Pertama dengan pendekatan materi, yaitu dengan bekerja mencari penghasilan sebaik-baiknya. Jika kebutuhan kita sudah tercukupi, niscaya kita dapat memperkecil rasa tamak. Gimana mau pengen, wong kita udah punya. Ibarat perut yang sudah kenyang, maka kita nggak tertarik dengan makanan yang sedang dimakan orang lain. Apalagi jika ternyata makanan orang tersebut pas-pasan. Dengan menyingkirkan tamak dari diri kita, akhirnya orang lain pun dapat menyelesaikan makanannya dengan tenang.

Cara yang kedua adalah dengan memiliki cara berfikir bahwa hidup ini cuma sesaat. Saya hari ini cuma punya uang 200ribu misalnya. Hal ini rasanya sudah lebih dari cukup. Uang ini masih sisa jika digunakan untuk makan hari ini. Toh belum tentu besok saya masih hidup. Maka sungguh berlebihan jika saya panjang angan-angan pengen mendapatkan apa yang orang lain miliki. Maka cara yang kedua ini menggunakan pendekatan spiritual.

Dua cara itulah yang dapat kita terapkan manakala menghadapi rasa tamak dalam diri. Oleh karenanya itu dalam bekerja, kita niatkan supaya kita dapat menyingkirkan rasa tamak. Jika kita sudah tercukupi kebutuhannya, maka tidak pengen terhadap milik orang lain. Orang lain pun merasa aman dengan keberadaan kita. Tidak khawatir kita minta, tidak merasa terancam kita ambil. Pada lingkup lain yakni ketika menjalankan amanah pekerjaan misalnya, orang yang jauh dari sifat tamak maka tidak akan tertarik melakukan korupsi, tidak menyalahgunakan keuangan untuk kepentingan pribadi, maupun berupaya mencari margin untuk keuntungan sendiri. Orang sudah merasa beres dengan kehidupannya, sudah merasa cukup, sudah merasa kaya, merasa sudah punya, jadi tidak perlu punya perasaan ingin mengambil yang bukan haknya.

Sebagai penutup, mari kita mengutip sebuah pelajaran dari buku Nashaihul 'Ibad, dari sahabat Utsman bin Affan ra. mengatakan "siapa yang menyingkirkan sifat tamak dari milik orang-orang, maka ia akan dicintai mereka", karena orang yang menyingkirkan sifat tamak, maka dia tidak akan menjadi beban pikiran orang lain. Alhamdulillah.


Salam,
Agus Tri Yuniawan


Sumber Gambar: shutterstock[dot]com
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Proyek pendidikan tahunan telah tertunaikan. Serah terima buku kepandaian murid di bidang: agama, PKN, Bahasa Indonesia, matematika, ilmu alam, ilmu sosial, seni, olahraga, dst menjadi penandanya.

Alhamdulillah, segala puji milik-Nya. Hari ini naik kelas. Bersyukur dan senang hati rapor telah dibagi. Semua murid menerima nilai hasil belajar masing-masing. Guru, orang tua ridlo atas capaian perkembangan putra-putrinya.

Subhanallah, Maha Suci Allah, pemilik segala kesempurnaan. Rapor merupakan dokumen presentatif masa lalu. Rapor menandakan adanya perubahan baru yang lebih baik, yaitu tambah baik ketauhidannya, cakapnya, semangat belajarnya, semakin matang sosialnya, serta bertambah dewasa. Itulah esensi naik kelas yang sejati. 

Allahuakbar. Proyek bersama berupa kegiatan pendidikan ini tidak boleh berhenti. Asah, asih, asuh membentuk jiwa raga yang beriman, kreatif, inovatif, dan efektif dalam kehidupan menjadi misi besar bersama. Sayyidina Ali karromallahu wajhah berkata, "didiklah anak-anakmu sesuai zamannya".

Nilai angka bukanlah final. Rapor kenaikan merupakan dokumen prestasi hidup. Pendidikan bermutu modal terbaik masa depan mereka. Dengan berbekal rezeki yang halal, bimbingan guru, doa, dan keikhlasan usaha lahir batin niscaya ada harapan generasi emas bangsa.

Proyek besar kita, qurrota a'yun, generasi pemimpin, insan Indonesia yang efektif dalam kehidupan di masyarakat, berbangsa, dan negara, anfa'uhum linnas. Sungguh menyenangkan menerima rapor dengan tangan kanan.

Ditulis Oleh: Fauzan
Editor: Agus Tri Yuniawan
Sumber Gambar: istockphoto[dot]com
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Bertambah lamanya masa pandemi kopit-19 ini memaksa orang untuk bersama-sama menemukan solusi nyata. Ekonom berupaya menemukan solusi ekonomi, guru berupaya melaksanakan kegiatan pendidikan yang adaptif, pemerintah dengan semua jajarannya berbagi tugas pada ranah masing-masing, sedangkan ilmuwan dan dokter berupaya menemukan vaksin virus ini. 

Kita semua tahu, bahwa vaksin sejatinya adalah bibit penyakit itu sendiri yang dilemahkan. Dengan demikian ia tidak memiliki kemampuan menginfeksi seperti sedia kala. Ia hanya "hadir" kedalam tubuh manusia, sehingga kehadirannya tersebut memicu "alarm" alami tubuh sehingga tubuh menghasilkan antibodi yang melindungi dari keganasan penyakit tersebut. Sekali lagi, karena bibit penyakit itu sudah dilemahkan, tentu saja tubuh tidak menjadi sakit tetapi justru merangsang kekebalan alami sehingga tubuh menjadi kuat. Oleh karenanya, ketika kemudian penyakit aslinya menyerang, maka tubuh sudah memiliki kemampuan untuk melawan. 

Hubungannya dengan kehidupan, sebenarnya kita juga mengalami proses "penyuntikan vaksin-vaksin kehidupan." Vaksin tersebut adalah setiap permasalahan yang hadir dalam perjalanan. Ini adalah cara Tuhan supaya kita semakin kebal, semakin bakoh, kuat dalam menghadapi persoalan. Saya mengutip kalimat berikut:

"Ingat, apabila sesuatu tak mampu menghancurkanmu, maka justru ia akan membuatmu semakin kuat."

Setiap permasalahan, tekanan, bahkan pukulan, yang itu tidak sampai membuatmu mati, maka sebenarnya itu adalah training kehidupan, yang akhirnya membuatmu menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Orang-orang yang dulunya pernah merasakan penderitaan, kesusahan, tekanan-tekanan dlm hidupnya, itu adalah tempaan bagi jiwanya sehingga menjadi tangguh. Yang akhirnya apabila ia menjadi orang yang lebih baik, maka ia tidak merasakan lagi derita masa lalunya sebagai penderitaan. Ketika kemudian kini ia mengalami hal-hal yang serupa, maka rasanya sudah biasa, bahkan bisa mengatasi dengan mudah. Itulah yang biasa dialami oleh orang-orang yang sukses.

Wanita-wanita yang dulunya mengalami kekerasan, kehancuran, KDRT, dan hal itu tidak membuatnya mati, maka justru kini mereka menjadi lebih kuat, memiliki pengaruh untuk membawa perubahan, berbagi penguatan pada orang-orang yang mengalami masalah yang sama seperti dirinya waktu dulu. 

Orang ketika "antibodi-antibodinya" sudah terbentuk, jangan kira persoalan kecil mampu menggoyahkannya, bahkan permasalahan yang lebih besar pun mampu ia hadapi. Ini karena Tuhan sudah menyuntikkan baginya vaksin yang banyak di masa lalunya, dan ia bertahan, menerima dan menjalani reaksi kehidupan, hingga kekuatan dan kebijaksanaan ia dapatkan pada akhirnya.


Salam,
Agus Tri Yuniawan


Gambar: freepik[dot]com
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Dulu waktu masih TK atau awal SD, aku senang memelihara burung pipit, ditaruh dalam sangkar, dan dikasih makan gabah. Ya enggak bisa bertahan lama sih, paling sepekan udah mati, lalu dicarikan lagi sama bapak, namanya juga anak-anak. Kadang kalau ada burung pipit yang kepala bagian atasnya putih, namanya emprit kaji (pipit haji?), seneng banget. Dikasih makan, kasih minum, kadang sesekali dielus bulunya, sampai dimandiin, wkwk. 

Singkat cerita, kini aku punya tugas menggarap sawah. Meski cuma sepetak, kuanggap ini sebagai media relaksasi ditengah situasi kopit-19 yang memaksa untuk #dirumahsaja. Lagipula dari isu yang berkembang, kebutuhan akan pangan semakin mendesak seiring menurunnya kegiatan ekonomi akhir-akhir ini. Maka kapan lagi belajar mengelola tanaman kalau tidak sekarang. 

Yang menarik dari cerita ini, yang juga menjadi nilai moral adalah ketika menyaksikan puluhan burung pipit yang hinggap di tanaman padi. Ketika tanaman baru sekitar sepekan, udah banyak yang patah batangnya karena dihinggapi burung ini. Anyway mereka memakan lumut-lumut yang tumbuh kemudian menggunakan tanaman padi sebagai tempat hinggap. Ketika padi sudah berumur sekitar dua bulan, sudah mulai berbulir, burung-burung kembali kesana. Sungguh itu pemandangan yang mengesalkan, wkwkwk. Tangkai padi pada ompong, bisa-bisa nggak panen nanti, pikirku. 

Aku pun menghubungkan dengan kesenanganku waktu kecil. Dulu aku seneng sama burung pipit, sekarang malah kesel sama mereka. Oh, ternyata karena memang aku punya kepentingan. Setiap hal yang menyinggung atau "mengusik" kepentinganku tersebut, maka akan membuatku tidak suka. Ini adalah haddun nafsi, rasa mementingkan diri sendiri, yang akhirnya menyebabkan perasaan khawatir, kesel, cemas, takut tidak panen, takut rugi, dsb. 

Aku tidak memberi label, apakah rasa ini benar atau salah. Aku menganggap ini adalah bagian dari eksplorasi rasa dalam diri, sebuah pembelajaran, yang telah Tuhan kasihkan kepadaku sebagai manusia, supaya aku semakin mengenal diri sendiri, selanjutnya mengagungkan kebesaran-Nya. Yang kemudian pula hal ini kutulis disini, untuk suatu saat kubaca kembali, mungkin sampai tahap aku sudah merasa biasa-biasa saja menyaksikan mereka bergelayutan, mematuk biji demi biji, yang mungkin setelah itu mereka bawa ke sarang untuk memberi makan anak-anaknya, dan hikmah-hikmah yang pada saat ini belum kupahami.

Tapi kalau sekarang ya kesel juga rasanya, akhirnya kupasang jaring supaya mereka ter-lock down diluar, wkwkwk.



Salam,
Agus Tri Yuniawan

Gambar manuk: www[dot]burung[dot]org
Gambar padi: dokumen pribadi
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Seberapa sering kita melihat status WhatsApp? Berapa kali kita mengecek siapa saja yang sudah melihat status yang kita posting di WA? Berapa banyak kita mengikuti orang-orang di media sosial? Meski tidak berjumpa, bahkan juga tidak saling mengirim pesan, tetapi dengan itu semua terasa dekat. Terlepas dari kangen atau rindu yang mensyaratkan ada perjumpaan fisik, perasaan dekat inilah yang membuat kita saling terhubung. Rasa ini yang menguatkan ikatan-ikatan. Menurut Hermann Ebbinghaus, pada umumnya jika hari ini kita menjumpai sesuatu yang baru, selanjutnya dalam enam hari kedepan sebanyak 75% ingatan tersebut akan kita lupakan. Ajaran agama pun menyatakan bahwa kita sebagai manusia adalah tempatnya salah dan ...., LUPA!, benar sekali. 

Dengan demikian ketika kita sesekali melihat status wa orang-orang dalam kontak kita, kemudian orang-orang tersebut juga melihat status kita, maka ingatan kita akan orang tersebut menjadi terjaga, hal ini secara halus akan membangun perasaan dekat. Pada platform lain seperti Instagram, Facebook, Twitter, manakala saling like itu juga menimbulkan rasa yang dekat. Rasa ini jika terus dijaga akan menghasilkan "rasa memiliki teman, memiliki saudara", sehingga kita merasa nyaman. 

Pun dengan perbandingan terbalik, apabila saling "perang" di dunia maya, apalagi mendapat rundungan, bullyan, maka juga menghasilkan rasa memiliki musuh ataupun haters di dunia maya, akhirnya merasa tidak aman, cemas, sedih, takut, dan sebagainya. Dengan ini sebenarnya kita tahu, bahwa dekat ataupun jauh, banyaknya teman ataupun musuh, tak semata-mata karena jarak ataupun jumlah, tetapi lebih tentang rasa. Tak peduli kamu di Jogja dan kekasihmu di Bandung, lalu setiap akhir pekan kamu menemuinya dan terasa enteng saja. Ini tentang rasa, yang ada di dalam.

Akhirnya sumber dari ketenangan adalah rasa didalam diri, yang memang sesekali perlu "dipancing" dengan sesuatu dari luar. Pun juga dalam situasi kopit sembilan belas ini. Takut, cemas, bahkan sakit, penyumbang terbesar adalah rasa di dalam diri. Hal ini salah satunya karena masifnya berita-berita yang campur aduk di media masa, yang kadang tak sengaja muncul di notifikasi, gambar-gambar yang otomatis tersimpan di galeri, ataupun tulisan-tulisan yang sengaja diteruskan ribuan jemari. Teman saya sampai meng-uninstal semua aplikasi sosial media yang ada pada gawainya, wkwk. Sehingga tidak heran ketika ada meme yang bertuliskan "selama 30 hari berhentilah melihat berita, maka separuh masalahmu akan beres :D". Maka membangun rasa menjadikan kita menjadi dekat dengan hal tersebut. Mari bangun rasa cinta, rasa kaya, rasa cukup, rasa sedulur, dalam hati sanubari kita.

Salam,
Agus Tri Yuniawan

Sumber gambar: pinterest[dot]com
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Alhamdulillah puasa Ramadhan ini telah hampir kita tuntaskan. Ada bermacam-macam kesan yang membekas pada puasa tahun ini. Sebagaimana yang dilakukan sebagian besar diantara kita ketika bulan suci hampir berakhir, maka biasanya memposting "status sedih" ketika berpisah dengannya, ehehehe...

Tetapi memang hal tersebut adalah naluri alamiah, bahkan ada yang mengutip jika orang tahu besarnya pahala di Bulan Ramadhan, maka ia akan berharap setahun itu Ramadhan semua. Benarkah seperti itu?

Sebagaimana kita tahu, ada ibadah yang tipe waktunya harian, pekanan, bulanan, dan tahunan, baik yang wajib maupun yang selain wajib. Semua sudah diatur oleh Allah dengan berpedoman pada prinsip kemampuan manusia dalam menjalankannya. Puasa Ramadhan hanya dilakukan selama sebulan dari 12 bulan setiap tahunnya. Durasi yang jelas ini dapat menghindarkan manusia dari rasa bosan. Andaikan sepanjang tahun manusia diwajibkan puasa, sangat mungkin ia akan jenuh. Wong kita disuruh #dirumahaja yang baru sekitar dua bulan ini aja bosannya bukan main, iya nggak? Bahkan di laman berita, aturan PSBB yang baru berapa hari saja sudah pada dilanggar.

Manusia adalah tukang bosan, jika dihadapkan pada situasi yang sama secara terus menerus. Allah membuat sekian macam variasi dalam ibadah barangkali untuk disesuaikan dengan sifat manusia ini. Secara fitrah manusia ingin selalu beribadah, berbuat baik, karena sejatinya dia adalah hamba. Namun di sisi lain ia memiliki kelemahan, tidak bisa seperti malaikat yang setiap saat terus menerus beribadah.

Maka dalam kalimat imajiner mungkin Allah berkata, "hambaku, bertaqwalah sesuai kemampuanmu. Shalat fardhu kuwajibkan setiap hari, cuma lima kali sehari, seharusnya 50x tapi sudah kudiskon jadi lima kali saja. Puasa Ramadhan sebulan saja dalam setahun. Kalau masih pengen nambah ya puasa Senin-Kamis, kalau bosan dan pengen ganti ya puasa pertengahan bulan tiga hari, kalau pas bosan nyunnah ya mokak nggak apa-apa. Perbuatan baik banyak, kasih makan orang, bantu tetanggamu, singkirkan paku di jalan, kalau kamu bosan, ya sudah tidur saja nggak apa-apa. dst..."

Sekali lagi, manusia itu mudah banget bosan. Seandainya manusia wajib puasa sepanjang tahun, akan sangat mungkin kewajiban tersebut ditinggalkan dengan berbagai macam alasan. Jika sudah demikian, maka ibadah akan dianggap sebagai beban. Jika ibadah dianggap beban, maka jika timbul suatu akibat jelek, maka yang disalahkan adalah agama. Gara-gara puasa terus aku jadi kurus, misalnya. Yang dulu dekat sama do'i, kelamaan jadi bosan, pengen diseriusin. Yang sudah diseriusin, akhirnya nikah, eh bosan juga. Yang sakit pengen sehat biar panjang umur. Yang sudah panjang umur, malah nanya "aku kok nggak mati-mati tho -_-". Kira-kira, di surga yang selama-lamanya nanti, manusia bosan nggak ya? wkwkwk...

Salam,
Agus Tri Yuniawan

Sumber gambar: taraf[dot]id

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Saya memiliki pengalaman ketika masa kecil. Saat itu masih duduk di bangku SD, kira-kira kelas dua atau tiga. Waktu itu saya dan teman-teman biasa ngaji TPA di masjid. Ada nuansa yang masih saya ingat ketika kami saling saling menjemput, bahasa Jawanya "ngampiri", kemudian berangkat bareng, dan pulang pun bareng. Tidak semua usia kami sama. Ada yang sudah kelas lima, ada yang kelas enam, bahkan ada yang sudah SMP. Kelas TPA pun dibagi. Ada yang kelas Iqro jilid 1-6, kelas juz amma, dan kelas Al-Quran.

Suatu ketika, sekitar dua sampai tiga pekan saya #dirumahaja. Bukan karena pandemi, bukan pula karena isu kiamat, tetapi karena kemalasan yang hadir begitu hebat. Saya pun ditanyakan oleh teman-teman. Ada satu dua teman yang ke rumah untuk mengajak untuk ngaji lagi. Ada pula yang datang untuk sekedar menyampaikan salam dari mas ustadz, tetapi hal tersebut tak lantas membuat kaki ini melangkah ke masjid lagi untuk TPA. Hingga suatu hari saya pun menyadari, bahwa saya belum mau ke masjid bukan karena malas lagi, tetapi karena malu. Malas itu ada durasinya. Tiga hari sampai sepekan biasanya sudah sembuh, tetapi karena terlanjur lama, maka rasa tersebut bergeser menjadi malu. Malu jika dinilai teman-teman. Malu jika dikatain "tumben" oleh teman-teman. Malu jika disindir, dibully, diledekin, dsb.

Berkaca dari pengalaman pribadi ini, maka inilah situasi psikologis yang mungkin ada pada sebagian saudara kita yang belum mau ke masjid. Hal ini terkonfirmasi ketika saya diskusi dengan teman. Waktu itu dia curhat dan sampai pada titik pembahasan tentang kegiatan ibadah pribadi. Dia jujur mengatakan bahwa shalatnya masih kurang baik, ke masjid hanya ketika momen sadranan setahun sekali, atau ketika kebetulan turut mengantar jenazah ke makam belakang masjid. Singkat cerita saya pun menyarankan untuk latihan menguatkan hati agar tidak was-was atas penilaian orang. Caranya dengan tetap melaksanakan shalat di rumah. Jika ternyata khawatir malu terhadap keluarga, shalat saja di kamar dan di kunci. Jika ingin shalat di masjid, shalat saja di masjid lain dulu yang tak seorangpun kenal. Lakukan itu sampai membiasa dan hati tenang. Hal ini karena shalat merupakan hubungan vertikal, antara manusia dengan Tuhannya, sehingga sebenarnya orang lain tidak ada sangkut-pautnya dengan situasi shalat kita. Hanya saja karena kita makhluk sosial, mau tidak mau terpengaruh hukum sosial berupa rasa pekewuh, tidak enak hati, khawatir dinilai, takut dibully, dsb. Maka ketika ibadah kita sudah membiasa, jika diibaratkan aplikasi maka hal itu sudah "terinstal", maka rasa-rasa tersebut akan terkalahkan dengan sendirinya.

Hubungannya dengan situasi pandemi ini adalah, kita semua berlatih untuk semakin memperbaiki hubungan pribadi dengan Tuhan. Saat ini tidak ada aktifitas rutin Ramadhan seperti buka puasa bersama, pengajian, shalat tarawih, dan tadarus di masjid. Maka ini adalah kesempatan yang baik untuk latihan, bagi kita atau saudara-saudara yang kemaren belum bisa aktif ke masjid. Ini adalah momen training rasa, agar kita membiasa dalam beribadah, sehingga setelah pandemi berakhir, tidak ada gap lagi antara yang sudah rajin maupun yang belum. Pun sebenarnya pula karena masing-masing orang punya alasan. Semua orang tidak harus sama. Namun esensi tulisan ini adalah menjadikan setiap orang itu merdeka, yang artinya memiliki kebebasan rasa untuk bertemu secara nyaman dengan siapapun dan dimanapun. Ketemu di jalan enjoy, ketemu di pos ronda nggak masalah, ketemu di masjid pun nyaman. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa memberi kita kekuatan bagi kita dalam mengarungi training ini. Aamiin.

Salam,
Agus Tri Yuniawan

Sumber Gambar: doktersehat[dot]com dan tpamuhtadin[dot]files[dot]wordpress[dot]com
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Sebulan lebih kita kerja dari rumah. Beberapa dari kita bertahan dengan baik karena memiliki logistik yang cukup, tetapi beberapa harus berjuang di luar untuk mengganjal perut yang lapar.
Makanan adalah kebutuhan dasar manusia. Tanpa makan yang cukup, manusia perlahan akan lemah dan akhirnya raga melepaskan ruhnya. Maka tanpa himbauan dan instruksi dari siapapun, aktifitas makan akan terus berjalan. Hal ini atas dasar naluri pertahanan hidup manusia.
Terkait dengan hal tersebut, penulis teringat akan salah satu ceramah ulama negeri ini. Beliau mengutip kitab Hayatis Shahabat tentang pidato Umar bin Khaththab R.A. ketika dilantik menjadi khalifah. Orang-orang menyimak dengan antusias. Mereka berharap mendengarkan visi besar, program-program yang spektakuler, rencana-rencana strategis, serta terobosan-terobosan cantik yang bakal dijalani. Namun Umar R.A. justru tidak menyampaikan hal-hal seperti yang diharapkan hadirin.

Beliau berpidato singkat dan mengatakan "Saya ini pemuda dari Bani Makhzum. Waktu kecil saya bisa makan karena bulik-bulik saya mempunyai kebun kurma. Ketika saya membantu panen, saya diberi upah kurma beberapa biji. Dengan itulah saya bisa hidup."

Melalui pidato tersebut, kita bisa mengambil hikmah bahwa bisa makan merupakan prestasi. Maka Umar R.A. mengingatkan bahwa nikmat tertinggi bukan ketika menjadi khalifah, melainkan saat kecil beliau bisa makan. Karena kalau tidak bisa makan maka mati.

Belajar dari hal tersebut, maka kebanyakan manusia modern menjadi angkuh karena menghitung nikmat hanya yang besar-besar. Padahal sehari ini bisa makan sehingga badan sehat itu merupakan nikmat yang luar biasa. Maka sesungguhnya tidak perlu menunggu memiliki mobil mewah, rumah megah, jabatan mentereng, untuk kita anggap sebagai nikmat. Terlebih pada situasi pandemi seperti ini. Bisa makan adalah prestasi yang perlu kita apresiasi. Semoga dengan mensyukuri nikmat ini, Tuhan menurunkan berkah kekuatan sehingga kita semua bisa melalui situasi ini dengan elegan. Amin.
Salam,
Agus Tri Yuniawan
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Time Line adalah garis waktu. Saat kita mengedit video, file-file potongan video menempati suatu area yang disebut time line. Kita bisa menyunting bagian-bagian video pada satuan waktu tertentu seperti menit dan detik. Pada konteks media sosial, time line adalah halaman yang menampilkan postingan dari waktu ke waktu. Semua cerita terkumpul disana sejak pertama kali posting hingga terakhir.

Setiap manusia juga memiliki garis waktu. Sambung menyambung sampai diberhentikan oleh ajal. Yang ingin penulis sampaikan pada catatan singkat ini adalah bahwa hal-hal yang terjadi dalam garis waktu bisa berubah. Hal ini layaknya seorang editor yang bebas mengubah potongan video, ingin disambung adegan apa pada detik dan menit tertentu, kemudian semua terangkai menjadi satu film yang utuh. Tuhan pun Mahakuasa mengubah cerita manusia dari waktu ke waktu. Tuhan Mahatahu sedangkan kita tidak.

Time line mengajarkan kita untuk berlaku bijak, untuk tidak mudah menjustifikasi orang lain. Demikian karena apa yang terjadi besok belum tentu sama dengan yang diucapkan saat ini. Dalam hal ekonomi, kedudukan sosial, jabatan, semua bisa berubah. Pun demikian dalam hal keimanan. Bisa jadi saat ini kita beriman, tapi belum tentu iman ini awet sampai akhir hayat, demikian juga dengan iman orang lain yang mungkin saat ini masih tipis, bisa saja mendapat hidayah dan mati husnul khatimah. Siapa yang tahu?, dan sudah banyak pengalaman-pengalaman terdahulu kalau kita mau mengambil pelajaran.

Garis waktu juga mengajarkan kita untuk berhati-hati dalam mengucap dan bersikap. Kata orang Jawa, "kabeh uwong ki urung karuan", setiap orang itu, ya kita-kita yang awam ini, belum pasti bagaimana keadaannya esok hari. Lantas mengapa begitu ngotot dengan sesuatu yang belum jelas kepastiannya?, sedangkan kondisi hati per menit per detik saja kadang masih gampang berubah. Maka "wong arep mbengok wae kudu ditoto", orang harus berfikir dulu dengan baik sebelum berucap, bahkan sebelum nge-gass sekalipun.

Namun sehati-hatinya manusia sangat mungkin pernah bersalah. Kesalahan-kesalahan terdahulu menjadikan manusia untuk berbenah. Membenahi hati, membenahi kata, membenahi sikap. Setelah sekian garis waktu dilalui, ia pun menjadi lebih bijak. Menyandarkan setiap episode yang akan terjadi kepada Tuhan yang Mahamengatur. Mengupayakan skenario terbaik dengan harapan kisah indah yang terjadi. Selamat belajar dari time line kehidupan, semoga sehat selalu.

Salam,
Agus Tri Yuniawan
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Bismillah. Teman-teman pernah mendengar suatu nasehat untuk mendahulukan adab/akhlak dibandingkan dengan mengejar ilmu? Melalui pengajian, artikel, ceramah di media banyak dijelaskan tentang hal tersebut. Jika teman-teman tertarik maka bisa browsing sendiri di internet. Intinya, adab/akhlak lebih diprioritaskan daripada tingginya ilmu.

Korelasinya dengan situasi sekarang, tidak sedikit orang-orang yang pintar, atau dianggap pintar, tetapi di media menunjukkan adab yang tidak biasa. Misal: mengumpat, berakting yang aneh, dsb, meskipun kita tidak tahu persis apa motivasinya. Akhirnya netizen ada yang berkata, "pintar tapi akhlaknya jelek buat apa?!". Demikian juga dengan sebagian orang yang dianggap sholeh, alim, tetapi kadang-kadang suka sinis, menghina, misuhi orang lain, akhirnya yang mendengarkan akan menjauh sekalipun yang disampaikan adalah ayat-ayat suci.

Memang, hati cenderung pada akhlak yang baik. Orang lebih tertarik kepada kesopanan, kelemahlembutan, kesabaran, dsb, dibandingkan dengan yang sebaliknya. Maka tak jarang, ada tokoh masyarakat yang sebenarnya tidak begitu pandai, tetapi akhlaknya baik, maka ia mendapat simpati dari warganya. Demikian juga dalam hal dakwah. Ada banyak da'i yang lebih tinggi ilmunya, tetapi da'i tertentu mendapatkan pengikut yang lebih banyak dikarenakan penyampaian yang santun dan menyenangkan.

Dengan menggunakan perbandingan terbalik, maka dalam kegiatan yang tidak baik juga demikian. Penulis pernah mendapat pesan wa, isinya adalah tentang seseorang yang ditegur ketika melakukan kesalahan kecil di tempat ibadah. Ia kecewa dengan orang yang menegur tersebut, karena penyampaiannya tidak nyaman dirasakan. Akhirnya orang tersebut menjadi enggan datang ke tempat ibadah. Selanjutnya ia datang ke diskotik. Ia tak sengaja menumpahkan minuman yang dibawa oleh pramusaji. Namun justru pramusaji tersebut reflek membersihkan minuman sambil meminta maaf berkali-kali. Melihat perlakuan yang demikian, maka orang tersebut menjadi lebih nyaman mengunjungi diskotik. Pun demikian dalam dunia kriminal lainnya. Ada orang-orang yang masuk kedalamnya karena diajak oleh seseorang yang dianggap memiliki 'akhlak' yang baik. Orang yang mengajak tersebut suka membantu, perhatian, tidak pelit, setia kawan, dsb. Akhirnya mereka lebih simpati sehingga bergabung dengannya.

Maka kesimpulannya adalah selama orang masih sehat, maka ia akan condong kepada akhlak yang baik. Jika perbuatan baik tidak diiringi dengan akhlak yang baik, maka jiwa akan mencari pancaran akhlak yang baik sekalipun yang menyampaikan adalah pelaku kejahatan. Orang tidak peduli dengan pesan kebaikan bukan karena pesan kebaikan itu sendiri, tetapi tidak nyaman dengan adab penyampaiannya. Adab/akhlak adalah hal utama yang orang perhatikan. Saking utamanya, banyak sekali pengalaman menunjukkan orang-orang yang tidak terlalu pinter, tidak terlalu kaya, bahkan dianggap hina, tetapi menjadi dimuliakan karena memiliki akhlak yang baik. Mungkin pertimbangan ini kali ya, nilai TKP diprioritaskan dalam penghitungan peringkat pada momen CPNS 2019 ini :)

Salam,
Agus Tri Yuniawan



Sumber gambar: clipartart[dot]com
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Semua akan indah pada waktunya, tetapi semua juga akan mumet pada saatnya.
Badai pasti berlalu. Namun hari yang cerah juga akan digeser waktu.
Siang berganti malam, dan esok pagi pun akan menjelang.
Susah senang akan terus bergulir selagi nyawa masih dikandung badan.

Kita pernah berjumpa dengan orang-orang yang nampak hebat, dan kini mereka pun nampak biasa.
Kita pun pernah dianggap hebat oleh orang lain, dan sekarang bisa saja semua dilupakan.
Kita pernah ngotot mempertahankan pemikiran yang sebenarnya bukan prinsip, dan itu yang orang kenang tentang kita.
Kita pun pernah berbuat konyol, dan itu pun menyumbang penilaian orang atas diri kita.

Ketika semua berlalu, dan buku catatan terasa penuh, apa yang hendak di kata?
Membuat kesimpulan atas semua coretan yang ada,
ataukah membesarkan lembaran sehingga goresan yang baru dapat termuat didalamnya?

Apapun itu, intinya kita bersyukur,
menjadi HAMBA dari Tuhan yang Mahabaik, Mahasegalanya,
yang paling mengerti masa depan kita.
Yang Mahakasih dan Mahasayang,
yang kasih dan sayang-Nya lebih besar dari semua noktah yang sempat ada.



Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Bismillah. Kemaren sahabat kami, Sodara Irham mengajak untuk belajar bareng teman-teman peserta tes CPNS 2019/2020 tentang strategi persiapan tes. Materi persiapan antara lain soal SKD yang terdiri dari TWK, TIU, dan TKP. Selain dari tiga itu, ada satu materi tambahan yakni strategi agama.

Jika sebagian besar tulisan pada blog ini kami tulis untuk ditujukan kepada diri penulis sendiri, maka pada postingan ini kami susun untuk ditujukan untuk teman-teman pada umumnya. Berikut adalah poin yang telah kami rangkum berkaitan dengan materi tambahan tersebut. Semoga bermanfaat :)

  E-Book Strategi CPNS 2019/2020;

Baca e-book:

Download
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Tulisan ini terinspirasi ketika saya mengatur anak-anak agar tertib. Tetapi nyatanya sebagian mereka tidak mau tertib. Jika terlalu dihayati, maka dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dalam diri. Merasa tidak didengarkan, merasa tidak dipatuhi, intinya ada ketersinggungan perasaan. Ini adalah hal biasa yang terjadi dalam hal sosial.

Hubungan orang dengan orang yang dikenal, memang sesekali perlu menjaga jarak. Ingat, menjaga jarak bukan berarti menjauh. Tetapi menciptakan intensitas yang pas sehingga meminimalisir gesekan. Selain hal tersebut, menjaga jarak adalah upaya untuk menjaga hati juga. Terkadang orang ketika bertemu dengan sesamanya, potensi hasud/ tidak suka itu muncul. Ketika melihat teman yang sudah menikah duluan, ada rasa tersinggung. Berjumpa dengan yang yang lebih bagus dalam ekonomi, pendidikan, karir, ada rasa tersinggung. Padahal tahu bahwa rasa hasud/ tidak suka, menginginkan sesuatu yang sama yang menjadi milik orang lain/ tamak, itu tidaklah baik. Tetapi rasa tersebut sering muncul otomatis ketika bertemu dengan orang tertentu. Inilah pentingnya menjaga jarak. Jangan terlalu jauh, tetapi jangan pula terlalu dekat. Terlalu jauh akan dikucilkan, terlalu dekat akan diremehkan.

Maka yang paling aman adalah memiliki qolbun salim. Hati yang selamat. Setiap bertemu dengan apapun, ia menyelamatkan. Bertemu dengan teman yang kaya maka hatinya berkata "dia memang pantas kaya, semoga hartanya bermanfaat bagi orang lain, digunakan untuk kebaikan, diberkahi selalu", bertemu dengan anak yang ngeyel hatinya berkata "semoga kelak anak ini menjadi baik, bermanfaat bagi agama, penerus dakwah dimanapun ia berada, sukses dan bermanfaat bagi orang banyak", bertemu dengan orang yang menikah hatinya berkata "semoga mereka rukun, rumah tangganya berkah, menghasilkan manfaat bagi orang lain dari pernikahan ini, tambah bagus ibadahnya", bertemu dengan orang yang punya kendaraan baru maka hatinya berkata "alhamdulillah nikmat yang baru, semoga bermanfaat bagi orang lain, semakin rendah hati, dilindungi dimanapun ia berada, diberikan keselamatan dari marabahaya". Ketemu orang yang dianggap jahat hatinya berkata "semoga semakin baik, semakin sadar, mendapat hidayah, dan memberi manfaat untuk orang lain". Melihat situasi apapun yang tidak cocok hatinya berkata "semoga ini menjadi ladang latihan bagi hati saya, agar semakin luas menampung yang ada, semakin kuat, tatag, dan menjadikan diri saya tidak cemen, dan lebih bijaksana".

Manakala hal tersebut diredaksikan dalam hati, apalagi diucapkan, maka suasana hati menjadi berubah. Lebih nyaman. Sumpek yang sempat hadir menjadi lebih lega. Ketika hal sama terulang kembali, maka diulangi pula dengan kata-kata yang baik tadi. Tips ini juga yang saya dapatkan dari pakde saya. Karena kata yang positif adalah doa. Kata-kata mengubah cara berfikir dan bertindak. Jika diperdalam lagi, maka sesungguhnya apa yang didoakan untuk orang lain akan berbalik untuk diri sendiri juga.

Akhirnya, memiliki rasa cocok terhadap seseorang itu adalah manusiawi. Begitu pula rasa tidak cocok itu juga manusiawi. Perbedaan ini akan selalu ada selagi orang masih hidup. Tetapi jika rasa tidak cocok berubah menjadi hasud, maka ini perlu mendapat perhatian. Karena hasud menjadikan diri sendiri menjadi sumpek, sesak, tidak nyaman, dan ini merugikan. Maka ia dapat disingkirkan dengan mendoakan.

Note: catatan singkat ini 100% untuk diri saya sendiri, bukan untuk menasehati orang lain, ataupun sombong mengajari orang lain. Ini pengalaman kolektif pribadi sejak kemarin masih lajang sampai saat ini. Jika ternyata ada manfaatnya bagi pembaca, maka dipersilakan mengambil manfaatnya. Pernah ada yang tersinggung membaca coretan saya, maka saya minta maaf, kembalikan pada hal awal yaitu coretan ini adalah nasehat untuk penulis sendiri. Terus ngapain di publikasikan? agar sahabat-sahabat bisa mengingatkan manakala saya lupa. Itu saja. Nothing else. 

Note 2: humor juga bisa membunuh hasud secara perlahan :d

Salam,
Agus Tri Yuniawan
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Coretan yang lalu

Tentang Saya


Agen Perubahan Informatika

Penulis juga bertugas sebagai anggota tim admin medsos:
Padukuhan Dawung
Twitter @DawungID
Instagram @padukuhandawung
FB @padukuhan.dawung

SLB Negeri 2 Yogyakarta
Twitter @SLBN2Jogja
Instagram @slbn2jogja
FB @SLBN2Jogja

About Me






Tujuan dibuat blog ini:
(1) Sebagai nasehat dari penulis untuk diri penulis sendiri, agar tidak lupa, selanjutnya publik dipersilakan mengambil jika ada manfaatnya,
(2) Sebagai media dakwah,
(3) Sebagai sarana menulis


About Me

Postingan Populer

  • Laporan Aktualisasi Latsar CPNS 2019
    Setiap kegiatan pasti ada penghujungnya. Kini tibalah saatnya kami sampai pada kegiatan penutupan pelatihan dasar CPNS 2019. Pada sesi ak...
  • Status WA Kegiatan Latsar CPNS
    Bismillah, Alhamdulillah. Semoga kalian semua dalam keadaan sehat ya, sahabatku semua. Tulisan kali ini penulis memunculkan tema tentang ...
  • Hubbul Wathan Minal Iman
    Bismillah, Alhamdulillah. Semoga kalian sehat selalu, teman-temanku. Beberapa waktu kemarin, Mas Wildan membuka blog ini, dia bilan...
  • Catatan Latsar: Hari Kedua
    Bismillah, Alhamdulillah. Hari Kedua, Latsar CPNS Gol. III Tahun 2019. Rabu, 3 Juli 2019. Kegiatan hari ini diawali dengan jogging ...
  • Catatan Latsar: Hari Pertama
    Bismillah, Alhamdulillah. Catatan kali ini dan 18 hari kedepan adalah catatan penulis selama menjalani Pendidikan dan Pelatihan Dasar (L...
  • Catatan Latsar: Hari Kedelapan (bagian 1)
    Selasa, 9 Juli 2019. Kegiatan pagi seperti biasa yakni shalat subuh berjamaah, olahraga, sarapan dan apel pagi. Selanjutnya ada tiga agen...
  • Catatan Latsar: Hari Ketiga
    Bismillah, Alhamdulillah. Hari Ketiga Latsar CPNS Gol. III Tahun 2019. Kamis, 4 Juli 2019. Seperti hari sebelumnya, setelah menjalanka...
  • Catatan Latsar: Hari Kesembilan
    Rabu, 10 Juli 2019. Yel-yel yang ditampilkan pada apel pagi ini hanya kelompok kami. hal ini karena kelompok 12 dan 13 persiapan seminar ...
  • Catatan Latsar: Hari Keenam
    Ahad, 7 Juli 2019. Setelah kegiatan temu kangen, kami berkumpul untuk melaksanakan apel. Seperti biasa kami mengatur barisan di depan Asr...

Sahabat Telah Singgah

blog counter

Blog Archive

  • ▼  2020 (17)
    • ▼  Desember (1)
      • Akhir Tahun 2020, Meningkatnya Kesadaran
    • ►  September (1)
      • Mau Apa Kamu?
    • ►  Agustus (1)
      • Cangkem Elek Bu Tejo
    • ►  Juli (1)
      • Totalitas dan Loyalitas
    • ►  Juni (5)
      • Hati-Hati, Ada Tamak Dalam Dirimu
      • Menerima Rapor dengan Tangan Kanan
      • Vaksin Kehidupan
      • Burung Pipit dan Jaring
      • Jauh di Mata Dekat di Rasa
    • ►  Mei (3)
      • Tukang Bosan
      • Malu Ke Masjid
      • Bisa Makan adalah Prestasi
    • ►  April (1)
      • Belajar dari Time Line
    • ►  Februari (2)
      • Adab Dulu, Baru Ilmu
      • Silakan Diberi Judul Sendiri (2)
    • ►  Januari (2)
      • Strategi Agama dalam CPNS 2019
      • Membunuh Hasud dengan Mendoakan
  • ►  2019 (45)
    • ►  Desember (4)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (27)
    • ►  Juni (2)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (51)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (9)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (22)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2016 (13)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
FOLLOW ME @INSTAGRAM

Dibuat dengan Sepenuh Rasa