Malu Ke Masjid

Saya memiliki pengalaman ketika masa kecil. Saat itu masih duduk di bangku SD, kira-kira kelas dua atau tiga. Waktu itu saya dan teman-teman biasa ngaji TPA di masjid. Ada nuansa yang masih saya ingat ketika kami saling saling menjemput, bahasa Jawanya "ngampiri", kemudian berangkat bareng, dan pulang pun bareng. Tidak semua usia kami sama. Ada yang sudah kelas lima, ada yang kelas enam, bahkan ada yang sudah SMP. Kelas TPA pun dibagi. Ada yang kelas Iqro jilid 1-6, kelas juz amma, dan kelas Al-Quran.

Suatu ketika, sekitar dua sampai tiga pekan saya #dirumahaja. Bukan karena pandemi, bukan pula karena isu kiamat, tetapi karena kemalasan yang hadir begitu hebat. Saya pun ditanyakan oleh teman-teman. Ada satu dua teman yang ke rumah untuk mengajak untuk ngaji lagi. Ada pula yang datang untuk sekedar menyampaikan salam dari mas ustadz, tetapi hal tersebut tak lantas membuat kaki ini melangkah ke masjid lagi untuk TPA. Hingga suatu hari saya pun menyadari, bahwa saya belum mau ke masjid bukan karena malas lagi, tetapi karena malu. Malas itu ada durasinya. Tiga hari sampai sepekan biasanya sudah sembuh, tetapi karena terlanjur lama, maka rasa tersebut bergeser menjadi malu. Malu jika dinilai teman-teman. Malu jika dikatain "tumben" oleh teman-teman. Malu jika disindir, dibully, diledekin, dsb.

Berkaca dari pengalaman pribadi ini, maka inilah situasi psikologis yang mungkin ada pada sebagian saudara kita yang belum mau ke masjid. Hal ini terkonfirmasi ketika saya diskusi dengan teman. Waktu itu dia curhat dan sampai pada titik pembahasan tentang kegiatan ibadah pribadi. Dia jujur mengatakan bahwa shalatnya masih kurang baik, ke masjid hanya ketika momen sadranan setahun sekali, atau ketika kebetulan turut mengantar jenazah ke makam belakang masjid. Singkat cerita saya pun menyarankan untuk latihan menguatkan hati agar tidak was-was atas penilaian orang. Caranya dengan tetap melaksanakan shalat di rumah. Jika ternyata khawatir malu terhadap keluarga, shalat saja di kamar dan di kunci. Jika ingin shalat di masjid, shalat saja di masjid lain dulu yang tak seorangpun kenal. Lakukan itu sampai membiasa dan hati tenang. Hal ini karena shalat merupakan hubungan vertikal, antara manusia dengan Tuhannya, sehingga sebenarnya orang lain tidak ada sangkut-pautnya dengan situasi shalat kita. Hanya saja karena kita makhluk sosial, mau tidak mau terpengaruh hukum sosial berupa rasa pekewuh, tidak enak hati, khawatir dinilai, takut dibully, dsb. Maka ketika ibadah kita sudah membiasa, jika diibaratkan aplikasi maka hal itu sudah "terinstal", maka rasa-rasa tersebut akan terkalahkan dengan sendirinya.

Hubungannya dengan situasi pandemi ini adalah, kita semua berlatih untuk semakin memperbaiki hubungan pribadi dengan Tuhan. Saat ini tidak ada aktifitas rutin Ramadhan seperti buka puasa bersama, pengajian, shalat tarawih, dan tadarus di masjid. Maka ini adalah kesempatan yang baik untuk latihan, bagi kita atau saudara-saudara yang kemaren belum bisa aktif ke masjid. Ini adalah momen training rasa, agar kita membiasa dalam beribadah, sehingga setelah pandemi berakhir, tidak ada gap lagi antara yang sudah rajin maupun yang belum. Pun sebenarnya pula karena masing-masing orang punya alasan. Semua orang tidak harus sama. Namun esensi tulisan ini adalah menjadikan setiap orang itu merdeka, yang artinya memiliki kebebasan rasa untuk bertemu secara nyaman dengan siapapun dan dimanapun. Ketemu di jalan enjoy, ketemu di pos ronda nggak masalah, ketemu di masjid pun nyaman. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa memberi kita kekuatan bagi kita dalam mengarungi training ini. Aamiin.

Salam,
Agus Tri Yuniawan

Sumber Gambar: doktersehat[dot]com dan tpamuhtadin[dot]files[dot]wordpress[dot]com