Monolog di Angkasa Sunyi
Dan saat pertama kali ia terbangkan aku, langit seolah menjadi milik kami berdua. Dia genggam benangku erat-erat, membawaku menari lincah di antara awan. Setiap tarikan dan uluran benangnya adalah irama. Aku merasa menjadi layang-layang paling berharga di semesta, yang terbang tinggi karena dijaga dengan sepenuh hati.
Aku tidak tahu kapan persisnya semua mulai berubah. Mungkin saat aku melihatnya di bawah sana, sedang sibuk merangkai sebuah "layang-layang baru". Warnanya lebih cerah, rangkanya mungkin lebih ringan. Sejak saat itu, genggamannya pada benangku mulai mengendur. Ia tidak lagi menarik-ulur benangku dengan penuh perhatian. Ia biarkan aku terombang-ambing sendiri, diulur begitu saja, sementara fokus dan tenaganya tercurah pada layang-layang baru yang hendak ia terbangkan juga.
Lucu, ya. Padahal dulu ia pernah berkata, "Merawat layang-layang yang sudah jadi itu lebih mudah daripada membuatnya dari awal." Nyatanya, kini semangatnya lebih besar untuk "menciptakan" yang baru daripada "menjaga" yang sudah ada di langit. Kini, aku harus berjuang sendirian di atas sini. Melawan hembusan angin yang tak menentu, menjaga agar rangkaku tak patah, memastikan kertasku tak robek. Aku menjadi pejuang tunggal bagi diriku sendiri.
Rasanya sepi, tentu saja. Tapi kesepian ini mengajariku banyak hal. Perlahan, aku mulai berhenti meratapi benang yang mengulur itu. Aku mulai lebih fokus pada angin di sekelilingku, bukan pada tangannya yang jauh di bawah sana.
Aku belajar menemukan iramaku sendiri. Aku menari bukan lagi karena sentakan benangnya, tapi karena belaian angin yang menyapaku. Untuk mengusir sunyi, aku menyibukkan diri dengan menari bersama arak-arakan awan, menyapa kawanan burung yang melintas. Mereka menjadi "teman-teman" baruku di angkasa, yang membuatku merasa tak lagi sendirian.
Memang, ada kalanya saat angin berhenti berhembus dan langit begitu hening, aku menatap benang panjang yang menjuntai di bawah sana dan menangis dalam diam. Merindukan erat genggamannya yang dulu. Merindukan masa ketika aku adalah satu-satunya.
Tapi ia mungkin lupa satu hal. Sebuah layang-layang yang sudah lama dibiarkan terbang di langit, ia akan belajar mengenali anginnya sendiri. Ia akan belajar bagaimana caranya tetap mengangkasa meski benang tak lagi direngkuhnya.
Aku tidak lagi menunggunya untuk membuatku berdansa. Karena kini, meski dengan benang yang terulur dan hati yang terkadang ngilu, aku sedang belajar menari untuk diriku sendiri. Dan ternyata, langit ini cukup luas untuk kunikmati seorang diri.
―∞―