Burung Pipit dan Jaring

Dulu waktu masih TK atau awal SD, aku senang memelihara burung pipit, ditaruh dalam sangkar, dan dikasih makan gabah. Ya enggak bisa bertahan lama sih, paling sepekan udah mati, lalu dicarikan lagi sama bapak, namanya juga anak-anak. Kadang kalau ada burung pipit yang kepala bagian atasnya putih, namanya emprit kaji (pipit haji?), seneng banget. Dikasih makan, kasih minum, kadang sesekali dielus bulunya, sampai dimandiin, wkwk. 

Singkat cerita, kini aku punya tugas menggarap sawah. Meski cuma sepetak, kuanggap ini sebagai media relaksasi ditengah situasi kopit-19 yang memaksa untuk #dirumahsaja. Lagipula dari isu yang berkembang, kebutuhan akan pangan semakin mendesak seiring menurunnya kegiatan ekonomi akhir-akhir ini. Maka kapan lagi belajar mengelola tanaman kalau tidak sekarang. 

Yang menarik dari cerita ini, yang juga menjadi nilai moral adalah ketika menyaksikan puluhan burung pipit yang hinggap di tanaman padi. Ketika tanaman baru sekitar sepekan, udah banyak yang patah batangnya karena dihinggapi burung ini. Anyway mereka memakan lumut-lumut yang tumbuh kemudian menggunakan tanaman padi sebagai tempat hinggap. Ketika padi sudah berumur sekitar dua bulan, sudah mulai berbulir, burung-burung kembali kesana. Sungguh itu pemandangan yang mengesalkan, wkwkwk. Tangkai padi pada ompong, bisa-bisa nggak panen nanti, pikirku. 

Aku pun menghubungkan dengan kesenanganku waktu kecil. Dulu aku seneng sama burung pipit, sekarang malah kesel sama mereka. Oh, ternyata karena memang aku punya kepentingan. Setiap hal yang menyinggung atau "mengusik" kepentinganku tersebut, maka akan membuatku tidak suka. Ini adalah haddun nafsi, rasa mementingkan diri sendiri, yang akhirnya menyebabkan perasaan khawatir, kesel, cemas, takut tidak panen, takut rugi, dsb. 

Aku tidak memberi label, apakah rasa ini benar atau salah. Aku menganggap ini adalah bagian dari eksplorasi rasa dalam diri, sebuah pembelajaran, yang telah Tuhan kasihkan kepadaku sebagai manusia, supaya aku semakin mengenal diri sendiri, selanjutnya mengagungkan kebesaran-Nya. Yang kemudian pula hal ini kutulis disini, untuk suatu saat kubaca kembali, mungkin sampai tahap aku sudah merasa biasa-biasa saja menyaksikan mereka bergelayutan, mematuk biji demi biji, yang mungkin setelah itu mereka bawa ke sarang untuk memberi makan anak-anaknya, dan hikmah-hikmah yang pada saat ini belum kupahami.

Tapi kalau sekarang ya kesel juga rasanya, akhirnya kupasang jaring supaya mereka ter-lock down diluar, wkwkwk.



Salam,
Agus Tri Yuniawan

Gambar manuk: www[dot]burung[dot]org
Gambar padi: dokumen pribadi