Menanti Kejatuhan Orang Lain
"Hidup adalah pertarungan. Meski selama ini orang-orang... terlihat diam, saling sapa, saling bersikap baik, tapi sebenarnya mereka sedang saling mengamati. Menanti kejatuhan orang lain. Menanti keburukan orang lain terbongkar. Untuk kemudian menginjak-injaknya dengan ganas selayaknya derajat mereka lebih suci... Tak ada yang benar-benar baik. Semua hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk memangsa satu sama lain."
Sebuah gambaran yang kelam, bukan? Tapi, mari kita jujur pada diri sendiri sejenak. Seberapa banyak kebenaran dalam kata-kata pedas itu?
Jika dulu "kampung" yang dibicarakan adalah lingkungan fisik, kini "kampung" terbesar dan terkejam ada di genggaman kita: media sosial. Kita sering melihatnya. Saat seseorang melakukan satu kesalahan pribadi, seketika panggung berubah. Jari-jari netizen dengan cepat berubah menjadi garpu dan pisau, siap "merujak" dan menguliti habis-habisan orang tersebut. Cacian, hujatan, dan penghakiman datang bak air bah. Seolah semua orang sudah lama menunggu momen ini.
Namun, penting untuk kita tarik sebuah garis batas di sini, sobat. "Kesalahan pribadi" yang kita bicarakan adalah ketergelinciran personal, yang dampaknya paling besar hanya pada dirinya sendiri. Ini tentu berbeda dengan tindakan kriminal atau kebijakan publik yang merugikan banyak orang. Perbuatan semacam itu memang wajib mendapat kritik dan konsekuensi tegas demi keadilan bersama.
Lalu, mengapa kita bisa begitu ganas pada kesalahan-kesalahan personal itu? Mengapa ada semacam kepuasan saat melihat seseorang yang tadinya di atas, kini tersungkur?
Mungkin, yang pertama adalah karena rasa iri. Saat melihat orang lain yang lebih sukses atau lebih bahagia jatuh, ada bagian kecil dalam diri yang merasa lega. Kejatuhan mereka seolah menjadi pembenaran atas kekurangan sendiri. Seolah derajat yang "biasa-biasa saja" ini kini terasa sedikit lebih tinggi dan lebih suci.
Selain itu, ada alasan lain yang lebih tersembunyi. Kita semua lelah. Beban hidup, cicilan, tuntutan pekerjaan, semua itu adalah stres yang menumpuk dan butuh pelampiasan. Dan momen ketika seseorang berbuat salah adalah puncak pelampiasan yang paling mudah dan terasa "aman". Menghujat mereka seolah menjadi cara untuk memuntahkan semua frustrasi yang kita pendam pada dunia.
Kutipan di awal tadi melukiskan manusia sebagai serigala yang menunggu mangsa. Gambaran itu ada benarnya. Tapi, apakah hanya itu?
Aku teringat saat ada sebuah musibah, bagaimana donasi mengalir deras dari orang-orang yang tak dikenal untuk membantu sesama yang bahkan tak pernah mereka temui. Aku teringat kisah teman-teman yang datang membawa makanan tanpa diminta saat kita sedang berduka. Momen-momen itu adalah bukti bahwa di dalam diri manusia, selain ada "serigala" yang siap menerkam, ada juga "malaikat" yang tulus menolong tanpa pamrih. Keduanya nyata.
Maka, kutipan awal tulisan ini bukanlah sebuah vonis mutlak atas kemanusiaan. Ia adalah sebuah cermin besar yang disodorkan ke hadapan kita.
Setelah melihat pantulan di cermin itu, pertanyaan terpenting bukanlah, "Seberapa jahat orang lain di luar sana?"
Melainkan, "Serigala mana yang sedang aku beri makan di dalam diriku sendiri hari ini?"
Dan di momen perayaan kemerdekaan ini, sobat, pertanyaan itu menjadi lebih besar gaungnya. Kita sering berbicara tentang cita-cita besar Indonesia Emas 2045. Sebuah visi tentang bangsa yang maju dan beradab. Tapi rumah semegah 'Indonesia Emas' itu tidak akan pernah berdiri kokoh jika fondasinya dibangun oleh pribadi-pribadi yang rapuh, pribadi yang masih sibuk saling memangsa.
Upaya menuju ke sana dimulai dari sekarang. Dari unit terkecil: diri kita sendiri. Sebab cara kita mengisi kemerdekaan adalah dengan saling menguatkan. Jika tak mampu memberi kekuatan, cukuplah mendoakan. Asal jangan ikut meruntuhkan.
Selamat HUT RI ke-80.
Salam,
Agus Tri Yuniawan