Saat Niat Baik Disampaikan dengan Cara yang Buruk

Sobat, ada kalanya sebuah niat yang sangat mulia justru disambut dengan resistensi dan kebingungan. Bukan karena niatnya yang salah, tapi karena cara menyampaikannya yang keliru. Aku mengalaminya sendiri baru-baru ini.

Cerita ini berawal dari sebuah pengumuman di grup WhatsApp para guru di daerahku. Seorang staf dari sebuah instansi vertikal membagikan edaran tentang program pengumpulan dana sosial. Tujuannya sangat baik: agar bisa membersihkan harta, berbagi, dan salah satunya untuk membiayai beasiswa bagi para guru honorer. Program ini dikoordinasikan melalui sebuah badan amal resmi, lengkap dengan formulir ikrar yang perlu diisi.

Namun, ada satu hal yang mengganjal. Tertulis program ini menggunakan istilah sebuah ibadah wajib yang, setahuku, memiliki aturan fikih yang baku, termasuk syarat minimal harta (nishab) yang harus dipenuhi. Setelah kuhitung-hitung, penghasilanku belum memenuhi syarat tersebut.

Dengan niat baik untuk memastikan semuanya sesuai ketentuan, aku pun bertanya di grup dengan bahasa yang paling sopan yang kubisa: "Mohon izin bertanya, jika syaratnya belum terpenuhi, apakah nama programnya tetap menggunakan istilah ibadah wajib tersebut? Terima kasih."

Pertanyaan sederhana itu ternyata membuka kotak pandora. Beberapa rekan guru lain menyahut, menyuarakan keresahan yang sama. Mereka ingin berpartisipasi, tapi mereka juga ingin memastikan ibadah mereka sah.

Konflik dimulai saat jawaban dari instansi tersebut datang. Jawaban pertama dari seorang staf sama sekali tidak menyentuh substansi pertanyaanku. Ia berbicara panjang lebar tentang pentingnya rasa syukur dan keikhlasan dalam berbagi. Tentu, itu tidak salah, tapi itu tidak menjawab pertanyaan teknis kami.

Suasana memanas saat salah seorang pimpinan di instansi itu ikut merespons. Bukannya memberikan pencerahan, jawabannya justru terasa emosional dan menyudutkan. Ia menjelaskan bahwa dana itu memang untuk membantu guru honorer, lalu membingkainya dengan kalimat-kalimat yang membuat kami terdiam.

"Kok lucu sekali tidak mau berbagi dengan sesama guru?"
"Saya sebagai pengelola anggaran, mengalokasikan program ini salah satunya untuk beasiswa guru"
"Kalau tidak mau, anggaran ini bisa saja dialihkan untuk yang lain."

Seketika, ruang diskusi yang tadinya sehat berubah menjadi medan penghakiman. Pertanyaan kami yang berlandaskan ilmu dan niat untuk taat aturan, justru dicap sebagai bentuk egoisme dan keengganan untuk berbagi.

Aku termenung lama setelah membaca rentetan pesan itu. Niat instansi itu sangat baik, tujuannya mulia. Tapi cara mereka merespons kritik dan pertanyaan menunjukkan kegagalan komunikasi yang fatal. Alih-alih memberikan jawaban yang berbasis data dan ilmu, mereka justru menggunakan sentimen, rasa bersalah, dan bahkan ancaman terselubung.

Seorang pelayan publik, saat dihadapkan pada kebingungan masyarakat, seharusnya merespons dengan empati. Cukup dengan berkata, "Terima kasih atas pertanyaannya. Kami memahami keresahan Bapak/Ibu. Akan kami diskusikan dengan tim dan pimpinan, hasilnya akan kami sampaikan segera." Kalimat seperti itu sudah lebih dari cukup untuk menenangkan suasana.

Dari kejadian ini aku belajar satu hal penting. Niat baik saja tidak cukup. Niat baik yang disampaikan dengan komunikasi yang buruk, arogansi, dan keengganan untuk mendengar, hanya akan melahirkan kecurigaan dan penolakan. Karena kepercayaan publik, sekali terluka oleh cara yang salah, akan sulit disembuhkan kembali, semulia apa pun niat awalnya.

Salam,
Agus Tri Yuniawan