Investasi Rasa: Karena yang Instan Cuma Mie, Bukan Hati
Celakanya, kita sering membawa mentalitas "serba instan" ini ke dalam urusan hati.
Baru kenal seminggu sudah menuntut kepastian, baru kerja sebulan sudah minta dianggap senior dan dihormati. Padahal, ada satu hal di semesta ini yang haram hukumnya dipaksa cepat: Rasa Hati.
Pernah dengar konsep "Mencicil Rasa"?
Terdengar transaksional, mirip KPR rumah memang. Tapi itulah realitanya. Rasa sayang, kepercayaan, dan respek (hormat) itu sifatnya "cicilan", bukan bayar tunai di muka.
Coba bayangkan kamu bertemu orang asing yang di hari pertama langsung memberimu kado mewah dan memuji setinggi langit. Senang? Mungkin. Tapi hati kecilmu pasti merasa ngeri, kan? Terasa too good to be true. Rasanya palsu.
Bandingkan dengan teman yang mungkin mulutnya pedas, tapi dialah yang pertama datang membawakan martabak saat kamu sedang ambyar. Atau pasangan yang sabar mendengarkan keluhan recehmu setiap malam tanpa menghakimi.
Itu namanya mereka sedang "menabung".
Sedikit demi sedikit, receh demi receh, tapi konsisten. Lama-lama, tanpa sadar tabungan rasa mereka di hatimu sudah penuh. Kepercayaan itu terbangun bukan karena satu ledakan besar, tapi karena ribuan hal kecil yang dilakukan berulang-ulang.
Jadi, jika hari ini kamu merasa belum disayang atau belum dihormati orang lain, jangan buru-buru baper atau menuduh dunia tidak adil. Coba cek dulu "rekening" perilakumu. Jangan-jangan, investasi sikap baikmu memang belum cukup untuk dianggap layak oleh mereka. Tingkatkan nilai investasimu sampai terasa pantas.
Intinya, santai saja. Nikmati prosesnya. Karena hukum alam tidak pernah bohong: sesuatu yang didapat dengan instan, biasanya akan hilang dengan instan pula. Tapi hati yang dimenangkan dengan cicilan ketulusan yang panjang, biasanya akan bertahan selamanya.
