Utang Kepercayaan yang Menagih Janji

Sobat, ada yang berbeda dengan masyarakat kita hari-hari ini. Sesuatu yang terasa baru dan berani. Kita melihatnya di mana-mana. Seorang warga berani merekam aksi pungli dengan ponselnya. Seorang pengendara motor berani menghadang arogansi mobil ber-strobo di jalan. Sebuah kesadaran kolektif telah lahir.

Publik tidak lagi diam. Mereka kini adalah "pahlawan" yang memegang alat terkuat di era ini: kamera dan keberanian untuk melapor.

Namun, jangan salah. Ini bukanlah kemarahan yang muncul tiba-tiba. Ini adalah sebuah tagihan yang sudah lama jatuh tempo.

Selama puluhan tahun, kita telah menyaksikan bagaimana "arogansi kekuasaan" menjadi tontonan sehari-hari. Pejabat yang korup, aparat yang abuse of power, perlakuan superior di jalanan, semua itu adalah "penarikan paksa" dari rekening kepercayaan publik. Hari demi hari, tahun demi tahun, rekening itu terus ditarik tanpa ada setoran.

Hingga akhirnya, rekening itu tidak lagi nol. Saldonya minus seribu.

Apa yang kita lihat hari ini, keberanian kolektif untuk melawan, adalah "bunga" dan "denda keterlambatan" dari utang kepercayaan yang sudah menumpuk itu. Publik tidak lagi memulai dari titik "percaya"; mereka memulai dari titik "curiga". Ini adalah sebuah luka batin kelembagaan yang wajar.

Maka, kini, saat para pejabat dan aparat itu mulai "berbenah", wajar jika publik masih sinis. Sebuah aksi "berbenah" ibarat setoran sebesar 10 poin ke rekening yang sudah minus 1000. Tentu saja saldonya masih minus 990.

Melihat fenomena ini, ada dua pesan yang perlu kita sampaikan secara adil.

Pertama, untuk para aparat dan pejabat: Jangan kaget jika publik masih marah. Jangan heran jika niat baik Anda untuk berbenah masih disambut dengan curiga. Ini adalah panen yang kalian tanam sendiri. Teruslah "menyetor" untuk membayar utang kepercayaan ini. Anggap ini sebagai cicilan. Dan jangan berharap pujian dalam waktu dekat. Perbaikan yang tulus membutuhkan konsistensi, bukan seremoni.

Kedua, untuk kita, publik: Kemarahan kita itu valid. Rasa curiga kita itu sehat. Itu adalah ekses dari luka lama yang belum sembuh. Jangan pernah lelah untuk mengawal. Namun, sambil terus mengawal, kita juga perlu memberi ruang bagi perbaikan yang tulus untuk tumbuh. Karena tujuan akhirnya bukanlah untuk marah selamanya, tapi untuk melihat "rekening" itu perlahan kembali positif, demi rumah bersama yang lebih adil.

Salam,
Agus Tri Yuniawan