Seni Menjadi "Ruang Aman"
Lalu, ada jenis orang yang sebaliknya. Kehadirannya justru membuat kita merasa lelah. Entah kenapa, setelah mengobrol dengannya, kita jadi merasa kecil, minder, atau bahkan kesal. Kita merasa obrolan itu bukan lagi sebuah dialog, melainkan panggung pertunjukan untuk satu orang.
Apa yang membedakan keduanya? Jawabannya terletak pada sebuah seni yang tak diajarkan di sekolah: seni menjaga perasaan orang lain agar tidak merasa inferior.
Inti dari masalah ini seringkali bukanlah niat jahat. Akar dari perilaku yang membuat orang lain merasa kecil justru datang dari sesuatu yang ironis: rasa tidak aman (insecurity) dari si pelaku itu sendiri. Ini adalah sebuah konflik di dalam diri yang dampaknya tumpah ke luar. Orang yang selalu ingin terlihat paling pintar dalam setiap obrolan, seringkali adalah orang yang paling takut dianggap bodoh. Ia menggunakan pengetahuannya sebagai tameng untuk melindungi egonya yang rapuh. Orang yang selalu memamerkan pencapaian finansial atau gaya hidupnya, seringkali adalah orang yang mengukur nilai dirinya dari materi. Ia butuh pengakuan dari luar untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia berharga.
Tanpa sadar, demi menenangkan rasa mindernya sendiri, ia justru menumbalkan rasa nyaman orang lain.
Lalu, bagaimana caranya agar kita tidak menjadi orang yang seperti itu? Bagaimana cara kita melatih diri menjadi sebuah "ruang aman" bagi orang-orang di sekitar kita? Mungkin kita bisa mulai dari melatih kepekaan. Saat kita merasa lebih tahu, alih-alih mendominasi dan memberi jawaban, kita bisa memilih untuk mengajukan pertanyaan yang baik. Saat kita merasa lebih mapan, alih-alih menceritakan liburan mewah, kita bisa memilih membahas pengalaman umum yang juga dirasakan teman kita, misalnya membahas enaknya Indomie saat hujan, daripada nikmatnya makan malam di hotel berbintang tujuh.
Begitu pula saat keluarga kita sedang harmonis; tak perlu kita menunjukkannya secara berlebihan, karena mungkin ada sahabat di dekat kita yang pernikahannya sedang di ujung tanduk atau keluarganya sedang tidak baik-baik saja. Fokusnya adalah pada kesamaan, bukan perbedaan yang menciptakan jurang.
Pada akhirnya, seni menjadi "ruang aman" adalah tentang menggeser fokus. Dari "aku ingin terlihat hebat di matamu" menjadi "aku ingin kamu merasa nyaman di dekatku".
Dan ironisnya, saat kita berhasil membuat orang lain merasa nyaman dan berharga, saat itulah kita justru menunjukkan kualitas diri kita yang paling tinggi.
Salam,
Agus Tri Yuniawan