Diberdayakan oleh Blogger.

Catatan Perjalanan Singkat

"Tamak adalah rasa ingin mendapatkan kepunyaan orang lain." Kita sepakati dulu ya definisi tersebut. Yang namanya makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari keberadaan orang lain. Aktifitas sosial meniscayakan orang melihat apa-apa yang dimiliki satu sama lain. Uang, kendaraan, pakaian, aksesoris, bahkan makanan. Itu semua adalah contoh kebutuhan sehari-hari manusia. Jika kebutuhan tersebut belum tercukupi, biasanya ada rasa ingin mendapatkan ketika membaur dengan orang lain.

Saya dan Zaid misalnya. Kami berteman. Zaid punya kebon di rumahnya. Disana ditanami pisang raja super, dan kebetulan sudah berbuah masak. Saya pun kebetulan suka banget makan buah pisang. Tapi mau beli di pasar kok sayang, eman. Oleh karenanya saya dolan ke rumah Zaid, dengan niat utama supaya dikasih pisang raja :d

Nah, ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa ada rasa tamak dalam hati saya. Dampak dari adanya rasa tersebut adalah saya menjadi kurang enjoy ketika dolan, saat srawung. Pikiran selalu tertuju pada momen dikasih pisang. Manakala beneran dikasih, maka saya menjadi senang. Sebaliknya saya pun kecewa jika ternyata tidak mendapatkan apa yang saya niatkan. Inilah dampak rasa tamak. Perasaan menjadi 'terkurung' pada 'keinginan mendapatkan', akhirnya jatuh pada kekecewaan manakala gagal mendapatkan.

Jika ditarik dalam kehidupan yang lebih luas, kira-kira seperti inilah yang mungkin akan kita rasakan. Bagaimana menghadapinya? Ada dua cara yang dapat kita lakukan. Pertama dengan pendekatan materi, yaitu dengan bekerja mencari penghasilan sebaik-baiknya. Jika kebutuhan kita sudah tercukupi, niscaya kita dapat memperkecil rasa tamak. Gimana mau pengen, wong kita udah punya. Ibarat perut yang sudah kenyang, maka kita nggak tertarik dengan makanan yang sedang dimakan orang lain. Apalagi jika ternyata makanan orang tersebut pas-pasan. Dengan menyingkirkan tamak dari diri kita, akhirnya orang lain pun dapat menyelesaikan makanannya dengan tenang.

Cara yang kedua adalah dengan memiliki cara berfikir bahwa hidup ini cuma sesaat. Saya hari ini cuma punya uang 200ribu misalnya. Hal ini rasanya sudah lebih dari cukup. Uang ini masih sisa jika digunakan untuk makan hari ini. Toh belum tentu besok saya masih hidup. Maka sungguh berlebihan jika saya panjang angan-angan pengen mendapatkan apa yang orang lain miliki. Maka cara yang kedua ini menggunakan pendekatan spiritual.

Dua cara itulah yang dapat kita terapkan manakala menghadapi rasa tamak dalam diri. Oleh karenanya itu dalam bekerja, kita niatkan supaya kita dapat menyingkirkan rasa tamak. Jika kita sudah tercukupi kebutuhannya, maka tidak pengen terhadap milik orang lain. Orang lain pun merasa aman dengan keberadaan kita. Tidak khawatir kita minta, tidak merasa terancam kita ambil. Pada lingkup lain yakni ketika menjalankan amanah pekerjaan misalnya, orang yang jauh dari sifat tamak maka tidak akan tertarik melakukan korupsi, tidak menyalahgunakan keuangan untuk kepentingan pribadi, maupun berupaya mencari margin untuk keuntungan sendiri. Orang sudah merasa beres dengan kehidupannya, sudah merasa cukup, sudah merasa kaya, merasa sudah punya, jadi tidak perlu punya perasaan ingin mengambil yang bukan haknya.

Sebagai penutup, mari kita mengutip sebuah pelajaran dari buku Nashaihul 'Ibad, dari sahabat Utsman bin Affan ra. mengatakan "siapa yang menyingkirkan sifat tamak dari milik orang-orang, maka ia akan dicintai mereka", karena orang yang menyingkirkan sifat tamak, maka dia tidak akan menjadi beban pikiran orang lain. Alhamdulillah.


Salam,
Agus Tri Yuniawan


Sumber Gambar: shutterstock[dot]com
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Proyek pendidikan tahunan telah tertunaikan. Serah terima buku kepandaian murid di bidang: agama, PKN, Bahasa Indonesia, matematika, ilmu alam, ilmu sosial, seni, olahraga, dst menjadi penandanya.

Alhamdulillah, segala puji milik-Nya. Hari ini naik kelas. Bersyukur dan senang hati rapor telah dibagi. Semua murid menerima nilai hasil belajar masing-masing. Guru, orang tua ridlo atas capaian perkembangan putra-putrinya.

Subhanallah, Maha Suci Allah, pemilik segala kesempurnaan. Rapor merupakan dokumen presentatif masa lalu. Rapor menandakan adanya perubahan baru yang lebih baik, yaitu tambah baik ketauhidannya, cakapnya, semangat belajarnya, semakin matang sosialnya, serta bertambah dewasa. Itulah esensi naik kelas yang sejati. 

Allahuakbar. Proyek bersama berupa kegiatan pendidikan ini tidak boleh berhenti. Asah, asih, asuh membentuk jiwa raga yang beriman, kreatif, inovatif, dan efektif dalam kehidupan menjadi misi besar bersama. Sayyidina Ali karromallahu wajhah berkata, "didiklah anak-anakmu sesuai zamannya".

Nilai angka bukanlah final. Rapor kenaikan merupakan dokumen prestasi hidup. Pendidikan bermutu modal terbaik masa depan mereka. Dengan berbekal rezeki yang halal, bimbingan guru, doa, dan keikhlasan usaha lahir batin niscaya ada harapan generasi emas bangsa.

Proyek besar kita, qurrota a'yun, generasi pemimpin, insan Indonesia yang efektif dalam kehidupan di masyarakat, berbangsa, dan negara, anfa'uhum linnas. Sungguh menyenangkan menerima rapor dengan tangan kanan.

Ditulis Oleh: Fauzan
Editor: Agus Tri Yuniawan
Sumber Gambar: istockphoto[dot]com
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Bertambah lamanya masa pandemi kopit-19 ini memaksa orang untuk bersama-sama menemukan solusi nyata. Ekonom berupaya menemukan solusi ekonomi, guru berupaya melaksanakan kegiatan pendidikan yang adaptif, pemerintah dengan semua jajarannya berbagi tugas pada ranah masing-masing, sedangkan ilmuwan dan dokter berupaya menemukan vaksin virus ini. 

Kita semua tahu, bahwa vaksin sejatinya adalah bibit penyakit itu sendiri yang dilemahkan. Dengan demikian ia tidak memiliki kemampuan menginfeksi seperti sedia kala. Ia hanya "hadir" kedalam tubuh manusia, sehingga kehadirannya tersebut memicu "alarm" alami tubuh sehingga tubuh menghasilkan antibodi yang melindungi dari keganasan penyakit tersebut. Sekali lagi, karena bibit penyakit itu sudah dilemahkan, tentu saja tubuh tidak menjadi sakit tetapi justru merangsang kekebalan alami sehingga tubuh menjadi kuat. Oleh karenanya, ketika kemudian penyakit aslinya menyerang, maka tubuh sudah memiliki kemampuan untuk melawan. 

Hubungannya dengan kehidupan, sebenarnya kita juga mengalami proses "penyuntikan vaksin-vaksin kehidupan." Vaksin tersebut adalah setiap permasalahan yang hadir dalam perjalanan. Ini adalah cara Tuhan supaya kita semakin kebal, semakin bakoh, kuat dalam menghadapi persoalan. Saya mengutip kalimat berikut:

"Ingat, apabila sesuatu tak mampu menghancurkanmu, maka justru ia akan membuatmu semakin kuat."

Setiap permasalahan, tekanan, bahkan pukulan, yang itu tidak sampai membuatmu mati, maka sebenarnya itu adalah training kehidupan, yang akhirnya membuatmu menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Orang-orang yang dulunya pernah merasakan penderitaan, kesusahan, tekanan-tekanan dlm hidupnya, itu adalah tempaan bagi jiwanya sehingga menjadi tangguh. Yang akhirnya apabila ia menjadi orang yang lebih baik, maka ia tidak merasakan lagi derita masa lalunya sebagai penderitaan. Ketika kemudian kini ia mengalami hal-hal yang serupa, maka rasanya sudah biasa, bahkan bisa mengatasi dengan mudah. Itulah yang biasa dialami oleh orang-orang yang sukses.

Wanita-wanita yang dulunya mengalami kekerasan, kehancuran, KDRT, dan hal itu tidak membuatnya mati, maka justru kini mereka menjadi lebih kuat, memiliki pengaruh untuk membawa perubahan, berbagi penguatan pada orang-orang yang mengalami masalah yang sama seperti dirinya waktu dulu. 

Orang ketika "antibodi-antibodinya" sudah terbentuk, jangan kira persoalan kecil mampu menggoyahkannya, bahkan permasalahan yang lebih besar pun mampu ia hadapi. Ini karena Tuhan sudah menyuntikkan baginya vaksin yang banyak di masa lalunya, dan ia bertahan, menerima dan menjalani reaksi kehidupan, hingga kekuatan dan kebijaksanaan ia dapatkan pada akhirnya.


Salam,
Agus Tri Yuniawan


Gambar: freepik[dot]com
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Dulu waktu masih TK atau awal SD, aku senang memelihara burung pipit, ditaruh dalam sangkar, dan dikasih makan gabah. Ya enggak bisa bertahan lama sih, paling sepekan udah mati, lalu dicarikan lagi sama bapak, namanya juga anak-anak. Kadang kalau ada burung pipit yang kepala bagian atasnya putih, namanya emprit kaji (pipit haji?), seneng banget. Dikasih makan, kasih minum, kadang sesekali dielus bulunya, sampai dimandiin, wkwk. 

Singkat cerita, kini aku punya tugas menggarap sawah. Meski cuma sepetak, kuanggap ini sebagai media relaksasi ditengah situasi kopit-19 yang memaksa untuk #dirumahsaja. Lagipula dari isu yang berkembang, kebutuhan akan pangan semakin mendesak seiring menurunnya kegiatan ekonomi akhir-akhir ini. Maka kapan lagi belajar mengelola tanaman kalau tidak sekarang. 

Yang menarik dari cerita ini, yang juga menjadi nilai moral adalah ketika menyaksikan puluhan burung pipit yang hinggap di tanaman padi. Ketika tanaman baru sekitar sepekan, udah banyak yang patah batangnya karena dihinggapi burung ini. Anyway mereka memakan lumut-lumut yang tumbuh kemudian menggunakan tanaman padi sebagai tempat hinggap. Ketika padi sudah berumur sekitar dua bulan, sudah mulai berbulir, burung-burung kembali kesana. Sungguh itu pemandangan yang mengesalkan, wkwkwk. Tangkai padi pada ompong, bisa-bisa nggak panen nanti, pikirku. 

Aku pun menghubungkan dengan kesenanganku waktu kecil. Dulu aku seneng sama burung pipit, sekarang malah kesel sama mereka. Oh, ternyata karena memang aku punya kepentingan. Setiap hal yang menyinggung atau "mengusik" kepentinganku tersebut, maka akan membuatku tidak suka. Ini adalah haddun nafsi, rasa mementingkan diri sendiri, yang akhirnya menyebabkan perasaan khawatir, kesel, cemas, takut tidak panen, takut rugi, dsb. 

Aku tidak memberi label, apakah rasa ini benar atau salah. Aku menganggap ini adalah bagian dari eksplorasi rasa dalam diri, sebuah pembelajaran, yang telah Tuhan kasihkan kepadaku sebagai manusia, supaya aku semakin mengenal diri sendiri, selanjutnya mengagungkan kebesaran-Nya. Yang kemudian pula hal ini kutulis disini, untuk suatu saat kubaca kembali, mungkin sampai tahap aku sudah merasa biasa-biasa saja menyaksikan mereka bergelayutan, mematuk biji demi biji, yang mungkin setelah itu mereka bawa ke sarang untuk memberi makan anak-anaknya, dan hikmah-hikmah yang pada saat ini belum kupahami.

Tapi kalau sekarang ya kesel juga rasanya, akhirnya kupasang jaring supaya mereka ter-lock down diluar, wkwkwk.



Salam,
Agus Tri Yuniawan

Gambar manuk: www[dot]burung[dot]org
Gambar padi: dokumen pribadi
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Seberapa sering kita melihat status WhatsApp? Berapa kali kita mengecek siapa saja yang sudah melihat status yang kita posting di WA? Berapa banyak kita mengikuti orang-orang di media sosial? Meski tidak berjumpa, bahkan juga tidak saling mengirim pesan, tetapi dengan itu semua terasa dekat. Terlepas dari kangen atau rindu yang mensyaratkan ada perjumpaan fisik, perasaan dekat inilah yang membuat kita saling terhubung. Rasa ini yang menguatkan ikatan-ikatan. Menurut Hermann Ebbinghaus, pada umumnya jika hari ini kita menjumpai sesuatu yang baru, selanjutnya dalam enam hari kedepan sebanyak 75% ingatan tersebut akan kita lupakan. Ajaran agama pun menyatakan bahwa kita sebagai manusia adalah tempatnya salah dan ...., LUPA!, benar sekali. 

Dengan demikian ketika kita sesekali melihat status wa orang-orang dalam kontak kita, kemudian orang-orang tersebut juga melihat status kita, maka ingatan kita akan orang tersebut menjadi terjaga, hal ini secara halus akan membangun perasaan dekat. Pada platform lain seperti Instagram, Facebook, Twitter, manakala saling like itu juga menimbulkan rasa yang dekat. Rasa ini jika terus dijaga akan menghasilkan "rasa memiliki teman, memiliki saudara", sehingga kita merasa nyaman. 

Pun dengan perbandingan terbalik, apabila saling "perang" di dunia maya, apalagi mendapat rundungan, bullyan, maka juga menghasilkan rasa memiliki musuh ataupun haters di dunia maya, akhirnya merasa tidak aman, cemas, sedih, takut, dan sebagainya. Dengan ini sebenarnya kita tahu, bahwa dekat ataupun jauh, banyaknya teman ataupun musuh, tak semata-mata karena jarak ataupun jumlah, tetapi lebih tentang rasa. Tak peduli kamu di Jogja dan kekasihmu di Bandung, lalu setiap akhir pekan kamu menemuinya dan terasa enteng saja. Ini tentang rasa, yang ada di dalam.

Akhirnya sumber dari ketenangan adalah rasa didalam diri, yang memang sesekali perlu "dipancing" dengan sesuatu dari luar. Pun juga dalam situasi kopit sembilan belas ini. Takut, cemas, bahkan sakit, penyumbang terbesar adalah rasa di dalam diri. Hal ini salah satunya karena masifnya berita-berita yang campur aduk di media masa, yang kadang tak sengaja muncul di notifikasi, gambar-gambar yang otomatis tersimpan di galeri, ataupun tulisan-tulisan yang sengaja diteruskan ribuan jemari. Teman saya sampai meng-uninstal semua aplikasi sosial media yang ada pada gawainya, wkwk. Sehingga tidak heran ketika ada meme yang bertuliskan "selama 30 hari berhentilah melihat berita, maka separuh masalahmu akan beres :D". Maka membangun rasa menjadikan kita menjadi dekat dengan hal tersebut. Mari bangun rasa cinta, rasa kaya, rasa cukup, rasa sedulur, dalam hati sanubari kita.

Salam,
Agus Tri Yuniawan

Sumber gambar: pinterest[dot]com
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Coretan yang lalu

Tentang Saya


Agen Perubahan Informatika

Penulis juga bertugas sebagai anggota tim admin medsos:
Padukuhan Dawung
Twitter @DawungID
Instagram @padukuhandawung
FB @padukuhan.dawung

SLB Negeri 2 Yogyakarta
Twitter @SLBN2Jogja
Instagram @slbn2jogja
FB @SLBN2Jogja

About Me






Tujuan dibuat blog ini:
(1) Sebagai nasehat dari penulis untuk diri penulis sendiri, agar tidak lupa, selanjutnya publik dipersilakan mengambil jika ada manfaatnya,
(2) Sebagai media dakwah,
(3) Sebagai sarana menulis


About Me

Postingan Populer

  • Laporan Aktualisasi Latsar CPNS 2019
    Setiap kegiatan pasti ada penghujungnya. Kini tibalah saatnya kami sampai pada kegiatan penutupan pelatihan dasar CPNS 2019. Pada sesi ak...
  • Status WA Kegiatan Latsar CPNS
    Bismillah, Alhamdulillah. Semoga kalian semua dalam keadaan sehat ya, sahabatku semua. Tulisan kali ini penulis memunculkan tema tentang ...
  • Hubbul Wathan Minal Iman
    Bismillah, Alhamdulillah. Semoga kalian sehat selalu, teman-temanku. Beberapa waktu kemarin, Mas Wildan membuka blog ini, dia bilan...
  • Catatan Latsar: Hari Kedua
    Bismillah, Alhamdulillah. Hari Kedua, Latsar CPNS Gol. III Tahun 2019. Rabu, 3 Juli 2019. Kegiatan hari ini diawali dengan jogging ...
  • Catatan Latsar: Hari Pertama
    Bismillah, Alhamdulillah. Catatan kali ini dan 18 hari kedepan adalah catatan penulis selama menjalani Pendidikan dan Pelatihan Dasar (L...
  • Catatan Latsar: Hari Kedelapan (bagian 1)
    Selasa, 9 Juli 2019. Kegiatan pagi seperti biasa yakni shalat subuh berjamaah, olahraga, sarapan dan apel pagi. Selanjutnya ada tiga agen...
  • Catatan Latsar: Hari Ketiga
    Bismillah, Alhamdulillah. Hari Ketiga Latsar CPNS Gol. III Tahun 2019. Kamis, 4 Juli 2019. Seperti hari sebelumnya, setelah menjalanka...
  • Catatan Latsar: Hari Kesembilan
    Rabu, 10 Juli 2019. Yel-yel yang ditampilkan pada apel pagi ini hanya kelompok kami. hal ini karena kelompok 12 dan 13 persiapan seminar ...
  • Catatan Latsar: Hari Keenam
    Ahad, 7 Juli 2019. Setelah kegiatan temu kangen, kami berkumpul untuk melaksanakan apel. Seperti biasa kami mengatur barisan di depan Asr...

Sahabat Telah Singgah

blog counter

Blog Archive

  • ▼  2020 (17)
    • ►  Desember (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ▼  Juni (5)
      • Hati-Hati, Ada Tamak Dalam Dirimu
      • Menerima Rapor dengan Tangan Kanan
      • Vaksin Kehidupan
      • Burung Pipit dan Jaring
      • Jauh di Mata Dekat di Rasa
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2019 (45)
    • ►  Desember (4)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (27)
    • ►  Juni (2)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (51)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (9)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (22)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2016 (13)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
FOLLOW ME @INSTAGRAM

Dibuat dengan Sepenuh Rasa