Perjamuan di Kursi Kosong
Awalnya mungkin hanya kritik wajar tentang cara kerja atau perbedaan pandangan. Tapi pelan-pelan, ia bergeser menjadi sesuatu yang lebih personal. Terciptalah "kita" dan "mereka". Ada rasa "lebih tahu" yang membuat kita merasa nyaman untuk mengkritik dari kejauhan, tapi enggan untuk berdekatan. Tembok itu pun semakin tinggi dan kokoh, dibangun dari hari ke hari oleh ego dan prasangka.
Lalu, suatu hari, sebuah "jembatan" coba dibangun. Sebuah undangan silaturahmi, sebuah perjamuan kebersamaan, disebar dengan tulus. Tujuannya hanya satu: meleburkan kembali "kita" dan "mereka" menjadi satu keluarga. Sebuah niat mulia untuk merobohkan tembok yang ada.
Aku hadir di sana, di perjamuan itu. Aku melihat senyum tulus dari mereka yang selama ini mungkin menjadi objek bisikan. Aku melihat kesibukan mereka menyiapkan segalanya. Tapi saat mataku memandang ke barisan kursi yang telah disediakan, ada sesuatu yang terasa janggal.
Aku melihat kursi-kursi kosong.
Kursi-kursi yang seharusnya diisi oleh mereka yang bisikannya paling sering kudengar. Mereka tidak datang. Undangan itu, jembatan itu, ternyata tak cukup kuat untuk menarik mereka keluar dari balik tembok nyaman yang telah mereka bangun sendiri.
Aku duduk di sana, di tengah kehangatan perjamuan, tapi hatiku merasakan dinginnya kursi-kursi kosong itu. Sebuah perenungan pun menggelitikku.
Betapa sering kita menuntut perbaikan, menuntut orang lain untuk berubah, tapi kita sendiri adalah orang pertama yang absen saat "perjamuan damai" itu digelar. Betapa mudahnya kita mengkritik, namun betapa sulitnya kita sekadar merendahkan hati untuk hadir.
Mungkin jembatan itu tidak sempurna. Mungkin ada hal dari "mereka" yang tidak kita sukai. Tapi bukankah kita sendiri juga penuh dengan kesalahan?
Padahal, seringkali, obat dari semua prasangka itu sangat sederhana: "datang". Hadirkan fisik kita. Ulurkan tangan kita. Karena kerendahan hati untuk "hadir" adalah langkah pertama yang ajaib untuk menyembuhkan luka. Sisanya, kehangatan perjamuan itu, akan menyelesaikannya.
Salam,
Agus Tri Yuniawan
