Cermin dari Teman yang Datang Saat Butuh
"Pak Yuli, saya itu kesal sekali rasanya," ucapku pada Pak Yuli, satpam sekolah yang sedang beristirahat di posnya. Beliau menoleh, matanya yang teduh menatapku dengan sabar.
"Kesal kenapa, Gus?"
"Itu, Pak. Teman saya, si Rully. Datangnya kalau ada butuhnya saja! Kalau lagi senang, lupa dia sama saya. Tapi kalau lagi ada masalah, baru deh cari-cari saya. Kan menyebalkan," keluhku panjang lebar, menumpahkan semua kejengkelan di dada.
Pak Yuli tidak langsung menjawab. Beliau menyesap kopi hitamnya, lalu meletakkan cangkirnya perlahan di atas meja. Setelah hening sejenak, ia menatapku lagi dan berkata dengan suara yang lembut namun begitu menusuk.
"Gus, kamu jangan membenci temanmu yang datang hanya saat butuh."
Beliau berhenti sejenak, membiarkan kalimatnya meresap.
"Bukankah kamu juga bersikap seperti itu kepada Tuhan?"
Degg!!! Jantungku seolah berhenti berdetak. Kalimat sederhana itu menghantamku lebih keras dari petir di siang bolong. Aku terdiam, lidahku kelu. Semua argumen dan rasa kesal yang tadi meluap-luap, kini lenyap tak bersisa, digantikan oleh rasa malu yang menjalar di sekujur tubuh.
Aku menunduk, memutar kembali rekaman hidupku sendiri. Benar. Betapa seringnya aku mengingat Tuhan paling khusyuk justru saat aku sedang terdesak. Saat aku butuh pertolongan, saat aku sakit, saat aku takut akan sesuatu. Doaku menjadi lebih panjang, tanganku menengadah lebih lama. Lalu, saat semua baik-baik saja, saat aku sedang bahagia dan lapang, seringkali aku lupa. Zikirku menjadi pendek, ibadahku terasa seperti rutinitas tanpa ruh.
Aku sibuk menghakimi Rully karena menjadikan aku "Tuhan" tempatnya mengadu saat butuh, padahal aku sendiri melakukan hal yang persis sama kepada Tuhanku.
Hari itu aku sadar. Rully, dengan segala perilakunya yang menyebalkan, ternyata bukanlah sebuah ujian kesabaran. Ia adalah sebuah cermin besar yang dikirim Tuhan untukku. Cermin yang memantulkan dengan telanjang betapa sombong dan munafiknya diriku.
Tuhan sedang menegurku dengan cara yang sangat halus, melalui lisan seorang satpam sekolah dan kelakuan seorang teman.
Sejak saat itu, caraku memandang berubah. Setiap kali ada perilaku orang lain yang membuatku jengkel, aku belajar untuk berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri:
"Jangan-jangan, aku juga seperti itu?"