Lilin yang Dibakar dari Dua Sisi

Notifikasi email itu muncul bersamaan: "Payroll Slip - Oktober 2025". Maya menarik napas lega. Di saat yang sama, ia baru saja menekan tombol 'send' untuk sebuah proyek sulit yang ia kerjakan sendirian selama seminggu. Di seberang kubikelnya, Doni, rekan setimnya, terlihat sedang tertawa kecil menatap layar ponselnya, entah sedang scroll sosial media atau mungkin mengurus side job-nya di jam kerja, seperti biasa.

Maya mencoba menepis rasa kesal, mengingatkan diri untuk bersyukur. Tapi ia tahu, nominal di slip gaji Doni lebih besar darinya. Dan tepat saat rasa getir itu muncul, atasan mereka datang. Bukan ke meja Doni, tapi ke mejanya.

"May, kerja bagus! As always," puji sang atasan. "Oh iya, tolong bantu revisi kerjaan Doni, ya. Dia sepertinya kewalahan. Deadline-nya besok pagi."

Sobat, adegan ini mungkin terlalu familiar. Ini adalah sebuah paradoks sunyi yang terjadi di banyak ruang kerja: mereka yang paling kompeten dan bisa diandalkan, justru mereka yang paling sering dihukum dengan beban tambahan. Mereka adalah lilin-lilin terang di dalam perusahaan. Namun, alih-alih dijaga nyalanya, mereka justru dibakar dari dua sisi.

Di satu sisi, mereka dibakar oleh api tanggung jawab mereka sendiri. Di sisi lain, mereka dibakar oleh api kelalaian orang lain yang sengaja dilimpahkan kepada mereka. Hasilnya? Cahaya mereka memang paling benderang, tapi mereka jugalah yang akan paling cepat leleh dan padam.

Rasa lelah karena beban kerja tambahan itu sudah cukup menyakitkan. Namun, ada satu hal yang mengubah rasa lelah itu menjadi sebuah luka yang lebih dalam: rasa tidak adil. Puncak ironinya terjadi saat si paling rajin tahu bahwa rekannya yang paling santai, yang bahkan mungkin mencuri waktu perusahaan untuk pekerjaan sampingan, justru dihargai lebih tinggi secara finansial.

Ini bukan lagi soal profesionalisme. Ini adalah pesan yang sangat jelas dari sistem: "Kerja keras dan efisiensimu tidak lebih berharga dari kemalasan orang lain." Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai dan kepercayaan, yang membuat semangat kerja yang tadinya membara, perlahan berubah menjadi jenuh dan apatis.

Jika kamu adalah salah satu dari "lilin" ini, dan kamu mulai merasa lelah, ketahuilah: perasaanmu itu valid. Kamu tidak cengeng. Kamu tidak lemah. Kamu hanya manusia yang sumber dayanya terbatas.

Dan masalah ini, seratus persen, bukanlah soal performa individumu. Ini adalah soal kegagalan kepemimpinan.

Tugas seorang pemimpin sejati bukanlah mencari cara "membakar lilin dari dua sisi" demi mendapatkan terang maksimal dalam waktu sesingkat mungkin. Tugasnya adalah menjaga agar nyala setiap lilin di ruangannya tetap stabil dan bisa bertahan lama. Yaitu dengan cara membagi beban secara adil, memberikan apresiasi yang sepadan dengan kontribusi, dan punya keberanian untuk menegur sudut-sudut ruangan yang mulai meredup atau bahkan padam sama sekali.

Karena karyawan terbaik bukanlah sapi perah. Mereka adalah lilin. Dan cahaya mereka, jika dijaga dengan baik, akan menerangi jalan kesuksesan bersama untuk waktu yang sangat, sangat lama.

Salam,
Agus Tri Yuniawan