Tidak Semua Orang Ingin Naik Haji, Benarkah?

Sobat, beberapa waktu lalu aku berkunjung ke rumah seorang teman yang baru saja pulang dari ibadah haji. Wajahnya memancarkan keteduhan, dan dari bibirnya mengalir cerita-cerita penuh makna tentang perjalanannya di tanah suci. Tentu saja, oleh-oleh seperti kurma dan air zam-zam menjadi pelengkap kebahagiaan hari itu.

Lalu, di akhir pertemuan, ia memegang pundakku dan mendoakan, "Semoga segera menyusul, ya. Diberi kemampuan dan dipanggil untuk ke tanah suci."

Aku mengamini doa yang indah itu. Namun, dalam perjalanan pulang, sebuah pertanyaan 'nakal' dan mungkin sedikit lancang melintas di benakku: Benarkah semua orang muslim ingin dan bercita-cita untuk naik haji?

Pikiran ini muncul bukan tanpa alasan. Secara umum, aku memahami bahwa haji adalah kesempurnaan seseorang dalam menjalani peran sebagai muslim. Namun, realita sehari-hari seolah menunjukkan hal yang berbeda. Aku melihat ada orang-orang yang dari segi finansial tampak begitu mampu. Mereka sanggup membeli kendaraan setiap beberapa tahun, rutin berlibur ke destinasi impian, atau membangun rumah yang megah.

Akan tetapi, nama mereka belum juga terdaftar dalam antrean haji yang panjangnya bisa puluhan tahun itu. Mereka sepertinya memiliki prioritas lain untuk "uang lebih" yang mereka miliki. Dari sinilah asumsiku muncul: Mungkin, bagi sebagian orang, 'kemampuan' finansial tidak secara otomatis berbanding lurus dengan 'keinginan' atau 'niat' untuk berhaji.

Mungkin aku perlu membedah kembali makna 'mampu' itu sendiri. Dalam pemahaman agama, 'mampu' ternyata bukan sekadar tentang saldo di rekening. Ia adalah sebuah konsep yang utuh, mencakup kemampuan finansial (baik untuk berangkat maupun untuk keluarga yang ditinggalkan), kemampuan fisik, jaminan keamanan dalam perjalanan, dan yang mungkin paling subtil, adalah 'kemampuan' hati. Kesiapan mental dan spiritual untuk menjawab sebuah panggilan.

Bisa jadi, seseorang merasa "mampu" secara finansial, namun hatinya belum merasa terpanggil. Mungkin, prioritas hidupnya saat ini memang berbeda dan menurutnya itu lebih mendesak. Mungkin baginya, menyekolahkan anak hingga ke jenjang tertinggi adalah 'haji'-nya saat ini. Mungkin, memastikan orang tuanya hidup nyaman dan terjamin di masa tua adalah 'thawaf'-nya. Atau mungkin, melunasi semua utang dan tanggung jawab duniawinya adalah caranya mempersiapkan diri sebelum merasa pantas untuk menjadi tamu Tuhan.

Jadi, sobat, tulisan ini bukanlah sebuah kesimpulan. Sejujurnya, ini adalah sebuah pertanyaan terbuka yang lahir dari asumsi pribadiku. Sebuah upaya untuk mencari tahu dan mengonfirmasi sebuah kebenaran. Aku justru ingin melemparkan pertanyaan ini kembali kepadamu. Apakah kamu sepakat bahwa sebenarnya tidak semua orang ingin naik haji?

Salam,
Agus Tri Yuniawan