Pelawak vs Pemimpin
Mari kita selami dunia sang pelawak terlebih dahulu. Di atas panggung yang gemerlap, ia berdiri dengan wajah lurus, menceritakan sebuah kisah yang absurd. Penonton mulai tersenyum, lalu terkekeh, dan akhirnya meledak dalam tawa yang riuh. Apa rahasianya? Justru karena ia, sang sumber kelucuan, tidak ikut tertawa. Ia adalah seorang konduktor tawa. Kekuatannya terletak pada kemampuannya mengontrol emosi, membangun ketegangan, dan baru melepaskannya pada titik puncak yang paling tepat. Jika ia tertawa sebelum lawakannya selesai, pesonanya akan luntur. Keberhasilannya diukur dari tawa yang ia ciptakan pada orang lain, yang ironisnya menuntut ia untuk menekan tawanya sendiri.
Sekarang, mari kita pindah ke sebuah ruang rapat yang mungkin terasa dingin dan tegang. Seorang pemimpin duduk di ujung meja. Jika ia meniru sang pelawak, yang selalu memasang wajah lurus, kaku, dan tanpa emosi, apa yang akan terjadi? Tembok hierarki akan semakin tinggi, anak buahnya akan takut untuk berpendapat, takut untuk bertanya, dan suasana akan terasa mencekam. Di sinilah sang pemimpin harus belajar hal yang sebaliknya: ia harus belajar untuk tertawa.
Tawa bagi seorang pemimpin bukanlah tentang lawakan. Tawa adalah tentang kemanusiaan. Saat seorang pemimpin bisa menertawakan kesalahannya sendiri atau sebuah situasi sulit, ia sedang menunjukkan sisi manusianya. Ia sedang berkata, "Saya bukan robot, saya juga bisa salah, dan kita akan melewati ini bersama." Tawa seorang pemimpin meruntuhkan tembok ketakutan dan membangun jembatan kepercayaan. Keberhasilannya diukur dari rasa aman dan kreativitas yang ia ciptakan di dalam timnya, yang seringkali menuntut ia untuk berani menunjukkan sisi rapuhnya, termasuk lewat tawa yang tulus.
Di sinilah letak ironi yang indah itu. Pelawak menahan tawa demi audiensnya. Pemimpin melepaskan tawa juga demi audiensnya. Meski caranya bertolak belakang, tujuan mereka sama: mengelola emosi diri sendiri untuk memberikan dampak positif pada orang di sekitarnya. Keduanya adalah ahli kecerdasan emosional. Fokus mereka bukan pada apa yang mereka rasakan, melainkan pada apa yang perlu orang lain rasakan.
Lalu, apa pelajarannya untuk kita? Dalam hidup, kita adalah keduanya. Ada kalanya kita harus menjadi "pelawak" yang tetap tenang dan menahan kepanikan saat orang di sekitar kita sedang kalut, agar kita bisa menjadi sumber ketenangan. Namun, ada kalanya kita harus menjadi "pemimpin" yang berani menunjukkan kerapuhan dan menertawakan kekurangan diri sendiri, agar orang lain merasa terhubung dan tidak sendirian.
Kebijaksanaan, mungkin, adalah kemampuan untuk tahu kapan kita harus menahan tawa, dan kapan kita harus tertawa lepas bersama.
Salam,
Agus Tri Yuniawan