Puzzle yang Belum Lengkap

Sobat, mari kita bicara tentang sebuah perayaan. Hari itu, aku baru saja berhasil meletakkan satu potongan puzzle besar yang sudah lama kukejar. Sebuah pencapaian. Tepuk tangan kudapat, ucapan selamat mengalir. Seharusnya, aku merasa utuh. Seharusnya, gambarku kini sempurna.

Namun, saat malam tiba dan aku sendirian dalam hening, aku menatap "gambar" hidupku itu. Anehnya, aku tidak merasakan kepuasan. Aku justru merasakan sebuah kehampaan yang aneh. Masih ada yang "bolong". Sebuah lubang di tengah gambar yang, entah kenapa, terasa semakin jelas dan mengganggu justru di tengah riuhnya kebahagiaan tadi.

Lubang ini membuatku gelisah. Dan seperti kebiasaan banyak dari kita, aku mulai sibuk membandingkan. Aku membuka "galeri", melihat "gambar-gambar" orang lain. Puzzle mereka tampak begitu sempurna. Rapi, penuh, tanpa ada satu lubang pun yang terlihat. Kehidupan mereka tampak utuh dan selesai.

Ahh, perbandingan adalah racun yang bekerja pelan-pelan. Semakin aku melihat gambar orang lain yang tampak lengkap, semakin aku membenci lubang di gambarku sendiri. Aku menjadi frustrasi, terus-menerus terobsesi pada kekuranganku. Aku lupa pada semua potongan indah yang sudah berhasil kususun, hanya karena ada satu-dua lubang yang belum terisi.

Lelah. Itulah yang akhirnya kurasakan. Lelah membandingkan, lelah membenci, lelah mencari-cari potongan kecil entah apa lagi yang bisa menambal lubang ini.

Aku akhirnya berhenti. Aku berhenti melihat gambar orang lain, dan aku berhenti mengutak-atik potongan-potongan kecilku. Aku mencoba untuk "menaikkan cara pandangku", memundurkan kursiku, dan melihat keseluruhan gambarku dari jarak yang lebih jauh.

Dan saat itulah aku melihatnya. Sebuah kesadaran yang menamparku dengan lembut.

Selama ini, aku begitu sibuk menyusun potongan-potongan kecil yang berkilau. Potongan pencapaian, potongan pengakuan, dan hal-hal duniawi lainnya. Aku lupa bahwa ada satu potongan terbesar yang menjadi fondasi dari semua itu. Potongan yang menjadi "latar belakang" dari keseluruhan gambar. Potongan "langit" atau "bumi" yang tanpanya, semua potongan kecil tadi hanya melayang-layang tanpa makna.

Potongan latar belakang itulah Tuhan.

Selama ini aku mengabaikannya, membiarkannya tergeletak di luar kotak, sibuk dengan kepingan yang lebih berwarna-warni. Aku baru sadar, saat potongan raksasa itu kuambil dan kumasukkan ke tempatnya, ia tidak hanya mengisi satu lubang. Ia menjadi perekat, fondasi, dan pemberi makna bagi setiap potongan kecil lainnya.

Gambarku mungkin masih belum 100%, dan mungkin tak akan pernah lengkap. Masih ada lubang di sana-sini. Tapi itu tidak lagi penting. Karena dengan adanya "latar belakang" itu, gambar ini, untuk pertama kalinya, sudah terasa utuh dan sempurna.

Salam,
Agus Tri Yuniawan