Curhat Tentang Curhat

Sobat, ada ritual yang kumulai kenali polanya. Biasanya dimulai dari getar ponsel di waktu yang tak terduga, menampilkan sebuah nama yang sudah sangat kuhapal. Di dalam hati, aku menarik napas panjang. Aku tahu cerita apa yang akan datang.

Lalu, seperti biasa, cerita itu pun mengalir. Cerita tentang pasangannya, tentang janji yang lagi-lagi diingkari, tentang sikapnya yang sekali lagi menyayat hati. Aku mendengar isak tangisnya di seberang telepon, merasakan beratnya beban yang ia pikul. Dan seperti biasa, aku mendengarkan. Aku berikan telingaku, simpatiku, dan nasihat-nasihat yang sebetulnya adalah pengulangan dari nasihatku sebulan yang lalu: "Lepaskan saja," "Kamu berhak bahagia," "Untuk apa bertahan?"

Ia akan setuju. Ia akan berkata, "Iya, kamu benar. Kali ini aku sudah tidak kuat."

Lalu hening. Untuk seminggu, dua minggu. Hingga suatu hari, aku melihatnya kembali mengunggah foto bersama pasangannya, dengan caption manis seolah tak pernah ada badai. Dan aku tahu, aku hanya perlu menunggu getar ponsel berikutnya.

Awalnya aku marah. Lalu aku bingung. Sekarang, jujur saja, aku mulai lelah. Untuk apa semua nasihatku jika tak pernah didengar? Untuk apa telingaku jika hanya menjadi tempat sampah sementara bagi luka yang sengaja ia peluk kembali?

Tapi belakangan ini, sebuah pertanyaan baru muncul di benakku, menggantikan rasa frustrasi. Bukan lagi, "Kenapa kamu tidak pergi?", melainkan, "Mengapa kamu tetap tinggal?"

Aku mulai mencoba memahami. Mungkin baginya, hubungan ini adalah sebuah roller coaster. Rasa sakit saat jatuh ke jurang memang luar biasa, tapi sensasi saat ditarik kembali ke puncak, saat pasangannya meminta maaf dan bersikap manis. Hal itu memberikan euforia yang membuatnya kecanduan. Mungkin ia sudah terlalu banyak berinvestasi; meninggalkannya sekarang berarti menyia-nyiakan semua air mata yang pernah ia tumpahkan. Atau mungkin, yang paling menakutkan dari semuanya, ia hanya takut pada kehampaan. Rasa sakit yang ia kenal terasa lebih aman daripada kesendirian yang tak bisa ia bayangkan.

Dan di tengah perenungan itu, aku akhirnya sadar.

Mungkin peranku selama ini bukanlah sebagai pemberi solusi. Mungkin temanku tidak pernah benar-benar meminta jalan keluar. Curhatnya kepadaku bukanlah sebuah permintaan tolong untuk ditarik dari sumur, melainkan hanya sebuah ritual untuk mengambil napas sejenak di tepi sumur, sebelum ia kembali menyelam ke dalamnya.

Aku adalah stasiun tempatnya membuang lelah, agar ia punya cukup tenaga untuk kembali ke medan perangnya. Sebuah pemahaman yang getir, memang. Tapi pemahaman ini entah kenapa membuat hatiku sedikit lebih tenang. Aku tidak lagi merasa gagal sebagai teman. Aku hanya perlu menerima, bahwa ada beberapa orang yang belum siap untuk diselamatkan.

Salam,
Agus Tri Yuniawan