Semua Rasa Adalah Karunia

Tulisan ini terinspirasi dari seorang teman, bertahun-tahun yang lalu. Ia adalah kawan yang baik, yang selalu menyisipkan sebuah kalimat sakti di hampir setiap kesempatan: "Jangan Lupa Bahagia." Kalimat itu ada di status media sosialnya, di pesan singkatnya, seolah menjadi pengingat bagi dunia.

Sebuah pesan yang indah, tentu saja. Tapi entah kenapa, suatu pagi di tahun 2016, sebuah pertanyaan ‘nakal’ terlintas di benakku saat membacanya lagi untuk kesekian kali:

"Loh, memangnya kita bisa lupa?"

Pertanyaan itu kemudian membawaku pada sebuah perenungan yang lebih dalam. Kita hidup di sebuah zaman yang seolah terobsesi dengan kebahagiaan. Mantra "selalu positif" dan "jangan lupa bahagia" terdengar di mana-mana, menjadi sebuah standar tak tertulis yang harus kita capai. Ini menciptakan sebuah konflik di dalam diri kita. Ada harapan atau ekspektasi bahwa hidup haruslah A (bahagia), namun pada kenyataannya yang kita rasakan seringkali B (sedih, kecewa, marah).

Akibatnya, kita jadi sering merasa bersalah saat merasakan emosi-emosi selain bahagia. Kita menganggap sedih sebagai sebuah kelemahan, marah sebagai sebuah dosa, dan kecewa sebagai sebuah kegagalan. Kita diajari untuk menekan dan menyembunyikan rasa-rasa itu, seolah mereka adalah aib.

Padahal, seperti yang kutulis di buku catatanku pagi itu: Bahagia adalah salah satu perasaan dari sekian banyak dan sekian kompleks rasa yang ada pada manusia. Bahagia adalah sesuatu yang baik. Namun, rasa-rasa yang lain itu juga baik.

Merendahkan satu, dua, atau sebagian rasa dan mengagung-agungkan rasa yang lain bukanlah sebuah tindakan yang bijak.

Sebab, semua rasa adalah karunia dari Tuhan untuk kita. Masing-masing hadir membawa pesan dan pelajarannya sendiri. Rasa sedih mengajari kita tentang empati dan apa artinya kehilangan. Rasa marah bisa menjadi bahan bakar untuk mengubah ketidakadilan. Rasa takut menjaga kita agar tetap waspada. Mereka semua adalah bagian dari paket utuh menjadi seorang manusia.

Merendahkan salah satunya berarti kita sedang membunuh sifat karunia itu di dalam diri kita. Sebaliknya, saat kita mampu menerima semua rasa yang hadir, itu berarti kita sedang belajar untuk menerima keadaan diri kita sendiri seutuhnya. Kita berhenti berperang dengan batin kita.

Maka, izinkan aku melengkapi mantra populer itu dengan sebuah kesimpulan yang lebih menenangkan. Sebuah pengingat yang kutulis untuk diriku sendiri dan mungkin juga relevan untukmu:

So, jangan lupa bahagia, tapi jangan lupa sedih juga. Terimalah semua rasa dalam kadarnya.

Karena setiap rasa yang datang menyapa, sejatinya adalah cara semesta untuk memastikan kita benar-benar hidup. Bagaimana denganmu, sobat? Rasa apa yang sedang menjadi karuniamu hari ini?

Salam,
Agus Tri Yuniawan