Sebuah Pelajaran dari Shaf di Sebelahku
Dulu, setiap kali mendapati hal ini, hatiku langsung menghakimi. Aku akan berbisik pada temanku sehabis salat, "Itu orang salatnya bagaimana, ya? Kok tidak tenang begitu, sampai mengganggu yang lain." Aku terjebak dalam pikiran bahwa salat yang sempurna adalah salat yang gerakannya mulus dan hening. Bahkan muncul bisikan, salat itu ya lebih baik seperti aku ini tenang, tidak sibuk seperti itu.
Namun, beberapa waktu lalu, sebuah pertanyaan sederhana datang menampar kesombongan batinku. Pertanyaan yang mengubah caraku memandang semua ini:
"Kamu nggak tahu, kan? hati dia itu baik lho"
Pertanyaan itu tiba-tiba membuka sebuah pintu perenungan yang baru. Aku mulai berandai-andai dalam hati. Bisa jadi, orang yang gerakan salatnya tak sempurna di mataku ini, dia adalah seorang pahlawan tanpa nama. Bisa jadi, dialah orang pertama yang berlari menolong tetangga saat ada yang sakit. Bisa jadi, dialah orang yang lidahnya tak pernah basah oleh gunjingan. Bisa jadi, dialah orang yang hatinya paling lapang untuk memaafkan kesalahan orang lain.
Aku jadi berpikir, mana yang lebih sulit? Memperbaiki gerakan rukuk dan sujud, atau memperbaiki hati agar bebas dari ujub? Belajar menahan diri agar tidak menggaruk, atau belajar menahan diri dari prasangka buruk? Gerakan salat yang khusyuk bisa dilatih dalam hitungan minggu atau bulan. Tapi membangun hati yang baik, yang tulus dan pemaaf? Itu adalah perjuangan selama hayat masih di kandung badan.
Aku teringat ucapan seorang mubaligh yang pernah kudengar. Beliau berkata, "Kalau tidak kuat puasa sunah, ya tidak usah puasa. Kalau tidak bisa sedekah banyak, ya jangan memaksakan diri. Tapi, ada satu aktivitas ibadah yang jauh lebih utama dari itu semua: milikilah hati yang baik."
Jamaah di sebelahku itu, yang tadinya kuanggap sebagai "pengganggu", ternyata adalah "guru" terbaikku hari itu. Ia menjadi cermin besar yang memantulkan betapa tidak tenangnya hatiku sendiri; hati yang begitu cepat menghakimi, yang begitu sibuk menilai urusan ibadah orang lain, padahal belum tentu aku lebih baik dari ibadahnya.
Mungkin sudah saatnya aku berhenti menjadi juri atas ibadah orang lain, dan mulai menjadi dokter bagi hatiku sendiri.
Pertanyaannya kini bukan lagi, "Seberapa khusyuk salat orang itu?" Melainkan, "Seberapa bersih hatiku saat sedang menilainya?", dan "Mengapa juga aku sempat menilai orang, padahal aku sedang menghadab Rabbku?"
Salam,
Agus Tri Yuniawan
