Sang Pendayung Tunggal

Sobat, pernahkah kamu melihat sebuah perahu yang semestinya didayung berdua, namun hanya satu orang yang berjuang sekuat tenaga? Di tengah lautan yang luas, ia duduk sendirian di satu sisi, mengayuh dengan napas yang memburu. Sementara di depannya, ada satu kursi dan sepasang dayung yang tak tersentuh, diam membisu.

Perahu itu adalah rumahnya, perjalanannya adalah takdirnya. Seharusnya, ini adalah perjalanan yang dirayakan bersama, sebuah irama yang diciptakan oleh dua pendayung yang bergerak serentak. Namun, ia telah lama menjadi pejuang tunggal.

Setiap kayuhan adalah perwujudan dari tanggung jawab yang ia emban sendiri. Setiap peluh yang menetes adalah bukti dari keputusan-keputusan besar yang ia pikirkan dalam sunyi. Dan di setiap tarikan napasnya, ada satu hal yang tak pernah padam: harapan.

Ia selalu menanam harapan pada sosok yang duduk di depannya. Ia berharap esok pagi, sepasang tangan itu akan meraih dayung yang menganggur. Sesekali, ia tawarkan dayung itu dengan lembut, "Mungkin jika kita kayuh bersama, laju kita akan lebih ringan dan cepat sampai." Namun, tawaran itu hanya angin lalu. Dayung itu tetap dingin tak tersentuh.

Harapan yang ia tanam, lagi-lagi hanya berbuah kekecewaan. Rasa asin di pipinya terasa lebih pekat dari air laut itu sendiri. Ini terjadi berulang kali, hingga harapan itu terasa seperti fatamorgana di kejauhan; indah, namun tak pernah bisa ia rengkuh.

Hingga suatu hari, ia berhenti menatap ke arahnya. Bukan dengan amarah, melainkan dengan sebuah helaan napas yang panjang dan pasrah. Ia tak lagi menanam harapan pada dermaga di seberang sana, melainkan pada langit luas di atas kepalanya. Ia lepaskan genggamannya pada harapan yang membebani itu, dan menggantinya dengan sebuah doa.

Doanya bukan lagi, "Tuhan, kirimkan aku seorang kawan mendayung." Doanya telah berubah menjadi, "Tuhan, mohon kuatkan kedua lenganku. Jangan ringankan badai ini, tapi kokohkanlah perahuku untuk menerjangnya. Semoga aku dimampukan."

Ia menjadi lebih kuat, lebih tabah. Ia adalah nahkoda sekaligus pendayung bagi perahunya sendiri. Ia tersenyum pada mentari, berdamai dengan badai.

Namun, sobat, di keheningan malam, saat bulan menumpahkan cahayanya di permukaan laut yang tenang, ada sebuah bisikan yang tak pernah bisa ia bungkam. Jauh di dasar hatinya, ia masih menyimpan sebuah mimpi. Mimpi tentang irama dua pasang dayung yang bergerak serentak. Mimpi tentang tawa yang memecah sunyi di tengah lautan. Mimpi tentang sebuah bahu untuk bersandar saat lengannya terasa penat.

Ia tahu, kekuatan terbesarnya lahir dari perjuangannya yang sunyi. Tapi ia juga tahu, jauh di dalam lubuk hatinya, ia merindukan sebuah perjalanan yang ideal. Sebuah perjalanan yang tak hanya tentang sampai ke tujuan, tapi tentang menikmati setiap kayuhan, bersama-sama.

Salam,
Agus Tri Yuniawan