Gitu Aja Dibikin Story

Sobat, pernah tidak kamu mendengar kalimat ini nyeletuk di antara teman-teman, atau membacanya di kolom komentar media sosial?

“Ih, gitu aja dibikin story, nyari validasi banget.”

Kalimat yang singkat, tajam, dan seringkali langsung menghakimi. Mungkin respons pertama kamu adalah ikut mengamini dalam hati, atau sedikit cringe melihat unggahan seseorang yang tampak ‘sepele’—secangkir kopi di pagi hari, bunga yang baru mekar di halaman, atau sekadar swafoto dengan senyum yang sedikit dipaksakan.

Kamu mungkin berpikir, "Apa istimewanya? Kenapa hal seperti ini perlu diumumkan ke seluruh dunia?"

Tapi, bagaimana kalau kamu coba berhenti sejenak dan melihatnya dari sudut pandang yang lain? Bagaimana kalau di balik unggahan sederhana yang kamu anggap remeh itu, ada sebuah cerita perjuangan yang tidak kamu ketahui?

Seringkali kamu lupa bahwa spektrum kehidupan itu sangatlah luas. Garis start, lintasan, dan rintangan yang dihadapi setiap orang itu berbeda-beda. Apa yang tampak seperti langkah kecil bagimu, bisa jadi merupakan sebuah lompatan besar bagi orang lain. Apa yang bagi kamu adalah rutinitas biasa, bisa jadi adalah sebuah pencapaian luar biasa bagi mereka yang sedang berjuang.

Kamu hanya melihat hasil akhirnya: sebuah foto, sebuah video singkat. Kamu tidak melihat apa yang terjadi di belakangnya. Kamu tidak melihat puluhan lamaran kerja yang ditolak sebelum akhirnya ada satu panggilan wawancara yang ia unggah. Kamu tidak melihat malam-malam penuh cemas sebelum akhirnya ia bisa menikmati secangkir kopi itu dengan sedikit rasa tenang. Kamu tidak melihat pertarungannya melawan rasa malas atau sedih yang mencekam, hingga akhirnya berhasil memasak satu menu sederhana untuk dirinya sendiri, misalnya.

Unggahan itu, sobat, seringkali bukanlah untuk kita, para penonton. Unggahan itu adalah untuk dirinya sendiri.

Di tengah keadaan dunia yang seringkali tidak adil dan penuh tekanan ini, setiap orang butuh cara untuk bertahan. Setiap orang butuh pegangan. Dan terkadang, media sosial menjadi salah satu alat untuk itu. Pov yang lebih tepat mungkin bukan untuk mencari validasi dari ratusan pasang mata, melainkan sebagai sebuah ikhtiar untuk menghibur dan membesarkan hati sendiri.

Itu adalah caranya berkata pada dirinya sendiri, “Lihat, aku berhasil melewati hari ini.” Itu adalah caranya mendokumentasikan secercah kebahagiaan kecil, agar bisa ia lihat kembali saat dunianya terasa gelap. Itu adalah caranya merayakan kemenangan-kemenangan kecil atas pertarungannya sendiri, pertarungan yang mungkin tidak pernah ia ceritakan kepada siapa pun.

Tidakkah itu sebuah perjuangan yang mulia? Menolak untuk menyerah pada keadaan dan secara aktif mencari alasan untuk tersenyum, lalu membingkainya dalam sebuah kenangan digital. Itu bukanlah sebuah kelemahan atau tindakan mencari perhatian. Itu adalah sebuah bentuk afirmasi diri. Sebuah usaha untuk mengatakan, “Aku ada, aku berharga, dan aku merayakan hidupku, sekecil apa pun itu.” Dan itu sama sekali tidak salah.

Jadi, lain kali jemari kamu gatal ingin menulis komentar sinis, atau pikiran kita mulai menghakimi, mari coba ambil jeda sejenak. Ingat bahwa di seberang layar sana, ada seorang manusia dengan ceritanya sendiri.

Mungkin pertanyaan yang lebih baik bukanlah, “Kenapa hal sepele ini harus diunggah?”

Melainkan, “Perjuangan apa yang telah ia lalui hingga momen kecil ini terasa begitu berharga untuk dirayakan?”

Salam,
Agus Tri Yuniawan