Dunia Memang Tidak Adil

Sobat, pernahkah kamu duduk termenung di sebuah senja, memandang hamparan kehidupan di sekelilingmu, lalu sebuah pertanyaan polos muncul di benakmu? Pertanyaan tentang sebuah keseimbangan yang terasa janggal, tentang sebuah harmoni yang seolah tak pernah tercipta.

Aku pernah berada di sana. Memandang dunia ini seumpama sebuah lukisan raksasa yang dilukis dengan cara yang aneh. Di satu sudut, catnya begitu melimpah hingga tumpah ruah, warnanya pekat dan mewah. Namun di sudut lain, kanvasnya tampak kering kerontang, menyisakan pucat pasi yang memilukan. Dalam hati aku bertanya, mengapa sang pelukis tidak mengambil sedikit saja tumpahan cat dari sudut yang kaya itu, lalu mengoleskannya pada bagian yang kering? Betapa indahnya jika semua warna bisa terbagi rata.

Lalu mataku beralih pada taman di dalam lukisan itu. Aku melihat sebidang tanah gersang yang setiap hari disirami dengan doa dan air mata, merindukan sebutir tunas untuk tumbuh. Tak jauh darinya, ada petak tanah subur yang seolah tak peduli, namun benih-benih baru terus saja bermunculan tanpa diminta, bahkan terkadang dibiarkan layu begitu saja. Lagi-lagi, aku bertanya dalam sunyi, mengapa sang penata taman tidak memindahkan saja beberapa benih itu ke tanah yang begitu merindukannya?

Aku terus mengamati. Kulihat sebatang pohon yang rimbun dan gagah. Saat ia berbuah lebat, ribuan burung datang berpesta, bersiul merdu di dahannya, membangun sarang di antara rantingnya. Namun, ketika musim gugur tiba dan pohon itu meranggas, semua burung itu terbang pergi, tak menyisakan satu pun. Mereka lupa bahwa dari dahannyalah mereka pernah mendapat perlindungan dan makanan. Dan aku kembali termangu, mengapa kesetiaan hanya bersemi di musim yang indah?

Lelah dengan semua pertanyaan yang tak terjawab di dalam bingkai lukisan itu, aku akhirnya mencoba mengangkat pandanganku. Aku berhenti menganalisis sapuan kuasnya yang membingungkan, dan mulai mencoba mencari Sang Pelukis itu sendiri. Aku sadar, mungkin aku terlalu sibuk mencari keadilan di atas kanvas, padahal keadilan bukanlah milik kanvas itu.

Dan di sanalah aku menemukan jawabannya.

Lukisan ini, panggung kehidupan ini, memang tidak dirancang untuk menyajikan keadilan yang mutlak menurut takaran kita yang terbatas. Dunianya boleh terlihat timpang, warnanya boleh terasa tak seimbang. Karena keadilan sejati bukanlah milik dunia.

Dunia memang tidak memberikan keadilan. Yang adil adalah Allah, Al-‘Adl, Al-Muqsith. Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Memberikan Keadilan.

Keadilan-Nya mungkin tidak selalu tersaji pada pemandangan di depan mata kita, sobat. Tetapi ia tersimpan rapi pada timbangan akhir yang tak pernah salah. Dan di sanalah, semua pertanyaan kita akan menemukan muaranya.

Salam,
Agus Tri Yuniawan