Saat Otak Kita Mencoba Mengukur Waktu Tuhan

Sobat, tadi dalam sebuah perjalanan, mataku tak sengaja tertuju pada sebuah pemakaman umum di tepi jalan. Deretan nisan yang berdiri dalam diam itu tiba-tiba memantik sebuah pertanyaan iseng di benakku.

"Kasihan sekali ya, mereka yang sudah meninggal ratusan tahun lalu," pikirku. "Artinya, mereka harus menunggu lebih lama sampai hari kiamat tiba. Sementara orang yang meninggal nanti, dekat-dekat akhir zaman, masa tunggunya jauh lebih singkat."

Pikiran itu terus bergulir, ditarik oleh logika duniaku yang sangat linear. Aku mulai membayangkan "bosan"-nya menunggu. Sama seperti saat kita mengantre sesuatu; semakin lama, semakin jenuh dan melelahkan. Aku terjebak dalam logika sederhanaku sendiri, mencoba mengukur sesuatu yang gaib dengan "penggaris" duniawi.

Lalu, di tengah lamunanku, sebuah pemikiran tentang relativitas waktu tiba-tiba muncul, menawarkan sudut pandang yang sama sekali baru.

Aku jadi teringat film-film fiksi ilmiah seperti Interstellar atau Avengers. Di film itu dijelaskan bagaimana waktu bukanlah sesuatu yang mutlak. Satu jam di sebuah planet yang dekat dengan lubang hitam bisa berarti puluhan tahun waktu di Bumi. Waktu bisa melambat, bisa meregang, tergantung pada gravitasi dan kecepatan. Itu adalah konsep fisika, sebuah hukum alam yang nyata.

Jika di alam semesta yang masih bisa diukur oleh ilmuwan saja "waktu" bisa begitu relatif, lalu bagaimana dengan "waktu" di alam penantian, alam ruh?

Seketika, semua kekhawatiranku tentang "bosan menunggu" terasa begitu naif dan tidak relevan. Aku sadar, musuh utamaku dalam perenungan ini bukanlah rasa bosan itu sendiri, melainkan keterbatasan logikaku yang mencoba memaksakan aturan main dunia pada sebuah dimensi yang aturannya sama sekali berbeda.

Bagaimana jika seribu tahun masa penantian di sana terasa hanya seperti satu tarikan napas di sini? Bagaimana jika konsep "lama" dan "sebentar" sama sekali tidak ada artinya bagi ruh yang sudah terlepas dari jasad?

Pikiran itu membawa sebuah ketenangan yang luar biasa. Aku tidak perlu lagi khawatir tentang "keadilan" waktu tunggu. Aku tidak perlu lagi memproyeksikan rasa jenuh dan gabutku pada mereka yang telah berpulang.

Sistem Tuhan pastilah Maha Adil dan berjalan dengan cara yang jauh di luar jangkauan logika linear kita. Dan terkadang, jawaban paling menenangkan atas pertanyaan-pertanyaan besar tentang kehidupan setelah mati bukanlah penjelasan yang rumit, melainkan sebuah kesadaran sederhana:

Otak kita terlalu kecil untuk mengukurnya. Dan di dalam ketidaktahuan itulah, tersimpan kedamaian.

Salam,
Agus Tri Yuniawan