Tak Semua Orang Sabar dengan 'Guru'-nya
Uniknya, ujian di sekolah kehidupan ini tidak datang dalam bentuk soal pilihan ganda di atas kertas. Ujiannya datang dalam wujud yang paling nyata, yaitu makhluk sesama kita. Ya, manusia diutus untuk menjadi ujian bagi manusia lainnya.
Dan terkadang, guru terbaik di sekolah ini tidak datang dengan jubah kebijaksanaan atau tutur kata yang menenangkan. Ia justru datang menyamar. Ia menyamar dalam wujud seorang rekan kerja yang selalu mencari-cari kesalahan, seorang kawan yang ucapannya seringkali tajam tanpa ia sadari, atau bahkan orang terdekat yang tindakannya selalu menguji batas kesabaran kita.
Kita mungkin menyebut mereka "orang yang menyebalkan". Tapi dalam kurikulum sekolah kehidupan, mereka adalah para "guru". Guru yang diutus khusus untuk kita. Ia adalah guru yang bertugas mengukur seberapa dalam sumur kesabaran kita. Ia adalah cermin yang memaksa kita melihat seberapa mudah api amarah kita tersulut. Ia adalah batu asah yang diam-diam sedang diutus untuk menajamkan kita.
Ada sebuah peribahasa kuno yang indah: "Besi menajamkan besi, dan manusia menajamkan sesamanya." Proses penajaman ini tidaklah nyaman. Ada gesekan, ada panas, bahkan ada percikan api. Hati kita mungkin terasa tergores, ego kita mungkin merasa terluka. Rasa kesal, marah, dan frustrasi yang kita rasakan saat berhadapan dengan "guru" kita itu, itulah gesekan yang sedang terjadi. Itulah proses penajaman yang sedang berlangsung.
Namun, di sinilah letak ujian yang sesungguhnya. Tidak semua murid sabar menghadapi proses belajar dari guru yang seperti ini.
Banyak dari kita yang memilih untuk membenci "batu asah" itu. Kita menghindarinya, mengeluhkannya, dan berharap ia lenyap dari kehidupan kita. Saat kita melakukannya, kita sebenarnya sedang menolak untuk diasah. Kita memilih untuk tetap menjadi besi yang tumpul. Kita memilih untuk tinggal kelas.
Tapi, mereka yang memilih untuk bersabar—mereka yang mencoba menarik napas dan memahami bahwa ini adalah sebuah "pelajaran" yang dirancang khusus untuknya—merekalah yang pada akhirnya akan lulus. Kemenangan dalam ujian ini bukanlah saat kita berhasil membuat "guru" itu diam atau pergi. Kemenangan sejati adalah saat kita berhasil menaklukkan diri kita sendiri. Menaklukkan ego yang ingin melawan, menaklukkan amarah yang ingin meledak, menaklukkan kesombongan yang merasa paling benar.
Dan tanda kelulusan itu nyata: hati yang lebih lapang, emosi yang lebih terkendali, dan kedewasaan yang lebih matang. Kita menjadi lebih "tajam".
Jadi, sobat, jika hari ini atau esok kamu bertemu dengan seorang "guru" yang sedang menguji kesabaranmu, mungkin ini bukan waktunya untuk mengeluh. Mungkin ini adalah bel tanda masuk kelas. Dan kelulusanmu hanya bergantung pada satu hal: seberapa sabar kamu mau duduk dan belajar di kelas itu. Atau jika kamu adalah murid yang memiliki privilege, kamu bisa memilih guru yang kamu kehendaki.
Salam,
Agus Tri Yuniawan