Seberapa Sering Pikiran Menipumu?
Sobat, pernahkah kamu merasa cemas, gelisah, atau bahkan marah karena sebuah skenario yang muncul di kepala? Skenario yang terasa begitu nyata, begitu meyakinkan, hingga hatimu ikut merasakan sakitnya, padahal semua itu belum tentu benar-benar terjadi.
Jika pernah, selamat datang di klub, hehe. Barangkali banyak dari kita yang jadi korban dari seorang penipu ulung. Penipu itu hidup di dalam dirimu sendiri. Dia adalah pikiranmu. Pikiranmu adalah seorang pencerita yang andal. Sayangnya, ia seringkali lebih suka menulis naskah drama atau film horor daripada sebuah komedi. Ia pandai merangkai asumsi, menabur curiga, dan membangun sebuah realitas palsu yang akhirnya menyusahkanmu sendiri.
Contohnya gini, kamu pernah nggak, berkendara di sebuah sore. Dari arah berlawanan, kamu melihat seorang kawan lama melintas. Kamu sudah siap melempar senyum dan sapaan, namun ia hanya lewat begitu saja, wajahnya lurus ke depan tanpa menoleh sedikit pun. Dan ini terjadi tak hanya sekali. Seketika, sang sutradara di kepalamu mulai bekerja. Film horor pun dimulai.
Pikiranmu mulai berbisik, “Apakah aku punya salah padanya?” Lalu bisikan itu semakin kencang, “Jangan-jangan dia tersinggung dengan ucapanku minggu lalu?” Semakin dalam kamu berpikir, naskahnya semakin liar, “Atau... apa aku punya utang yang lupa kubayar?” Semakin lama kamu membiarkan pikiranmu bercerita, semakin keruh hatimu. Kamu mulai menjaga jarak, merasa tidak nyaman, dan hubungan yang tadinya baik-baik saja kini terasa canggung. Padahal, semua itu baru terjadi di kepalamu.
Berhari-hari kamu memendam rasa tidak nyaman itu, hingga akhirnya suatu saat kalian bertemu di kondangan. Dengan ragu kamu memberanikan diri bertanya, dan ia tertawa. “Oh, maaf sekali, bro. Mataku ini minus parah, aku tidak bisa melihat jelas kalau di jalan. Aku bahkan tidak sadar kita berpapasan.” Ah, tamat sudah semua film horor itu. Ternyata, penderitaan yang kamu rasakan berhari-hari disebabkan oleh cerita fiksi yang kamu tulis sendiri.
Tipuan pikiran ini juga sering terjadi dalam hal mengukur kemampuan dan waktu. Berapa kali kamu menatap tumpukan pekerjaan dan berkata dengan penuh keyakinan, “Ah, ini sih sepele. Sehari juga selesai.” Pikiranmu meyakinkan bahwa kamu punya banyak waktu, bahwa tenagamu sangat cukup. Kamu pun menunda, mengerjakannya dengan santai, hingga tiba-tiba tenggat waktu sudah di depan mata. Pekerjaan yang dalam pikiranmu bisa selesai dalam sehari, ternyata pada kenyataannya membutuhkan waktu seminggu penuh dengan keringat dan kurang tidur. Lagi-lagi, kamu tertipu oleh optimisme palsu dari pikiranmu sendiri.
Bahkan dalam hal sesederhana pesan singkat. Sebuah pesan WhatsApp yang hanya dibaca tanpa dibalas. Pikiranmu langsung melompat ke kesimpulan terburuk: “Dia marah padaku.” “Pasti pesanku menyinggung.” “Aku tidak penting baginya.” Padahal kenyataannya bisa jadi sangat membosankan: mungkin ia sedang menyetir, sedang rapat, atau sekadar membaca pesan itu lalu lupa membalas karena anaknya tiba-tiba menangis.
Sobat, kamu seringkali sudah susah duluan, jauh sebelum kenyataan benar-benar terjadi. Kamu menderita bukan karena realita, tetapi karena interpretasi dan cerita yang kamu buat tentang realita itu. Hal ini mengingatkanmu pada apa yang pernah dikatakan oleh Seneca,: "Kita lebih sering menderita dalam imajinasi daripada dalam kenyataan." Kutipan ini seolah menjadi cermin bagi semua contoh tadi.
Lalu, bagaimana caranya agar tidak terus-menerus tertipu? Kuncinya mungkin bukan dengan berhenti berpikir, tetapi dengan berhenti untuk langsung memercayai semua pikiran yang muncul. Beri jeda. Saat sebuah pikiran buruk melintas, jangan langsung ditelan bulat-bulat. Anggap ia sebagai seorang tamu, bukan sebagai tuan rumah.
Coba tanyakan pada pikiranmu itu, “Apakah ini fakta, atau hanya sebuah cerita yang sedang kamu karang?” Dengan begitu, kamu belajar menjadi pengamat bagi pikiranmu, bukan menjadi budaknya.
Jadi, lain kali sebuah pikiran buruk datang dan membuatmu gelisah, dan biasanya pada saat WIBO (Waktu Indonesia Bagian Overthinking), coba sapa ia dan bertanya, “Hei, ini kisah nyata, atau kamu sedang menipuku lagi?” Mungkin jawabannya akan sangat melegakanmu.
Salam,
Agus Tri Yuniawan
Salam,
Agus Tri Yuniawan