Tuhan Telah Pergi
Namun, ada satu pertanyaan lanjutan yang mungkin terasa lebih menusuk dan sunyi: Mungkinkah Tuhan yang sudah hadir itu kemudian pergi?
Jawabannya, dengan berat hati, adalah mungkin. Kehadiran-Nya bukanlah sesuatu yang statis. Ia seumpama cahaya mentari yang hangat, tapi bisa seketika tertutup awan mendung yang kita ciptakan sendiri. Momen perginya Tuhan bukanlah tentang Ia yang beranjak, melainkan tentang kita yang tanpa sadar menutup pintu hati bagi-Nya.
Momen krusial itu adalah saat terjadinya pergeseran niat.
Perbuatan di luar mungkin terlihat sama, tapi pemandangan di dalam hatimu telah berubah total. Di detik ketika niat tulus itu tergelincir dan digantikan oleh pamrih, ego, atau keburukan, di sanalah momen itu terjadi.
Mari kita kembali pada adegan yang sama, namun dengan akhir yang berbeda.
Bayangkan kembali dirimu di sudut kantor, sedang membereskan tempat sampah yang terguling. Awalnya, hatimu bersih. Di momen itu, Tuhan hadir dalam ketulusanmu. Tiba-tiba, dari kejauhan kamu melihat atasanmu berjalan ke arahmu. Seketika sebuah bisikan licik melintas di kepala: “Wah, kesempatan bagus. Biar aku kelihatan rajin dan proaktif.”
Di detik itu, meski tanganmu masih memunguti sampah yang sama, hatimu sudah berbeda. Fokusmu bukan lagi pada kebersihan, melainkan pada citra diri. Saat itulah, getaran hangat kehadiran-Nya memudar. Tuhan yang semula menemanimu dalam keheningan niat baikmu, telah pergi.
Adegan kedua, di pinggir jalan. Kamu sedang tulus membantu bapak tua yang motornya mogok. Rasa empatimu murni, dan Tuhan hadir di sana. Namun, saat membantunya, matamu menangkap sesuatu yang berharga di dalam tasnya. Bisikan lain yang lebih gelap muncul: “Kalau aku ambil, sepertinya tidak akan ada yang tahu…”
Niat awalmu yang suci terancam ternoda. Di bisikan jahat yang meracuni nuranimu itu, bahkan sampai kamu melakukannya, maka Tuhan yang tadinya menyertai welas asihmu, kini telah pergi.
Panggung pergeseran niat ini, sobat, bisa muncul di mana saja dalam kehidupan modern kita. Ia bisa menyelinap saat kamu memberi donasi online, di mana niat tulus untuk membantu tiba-tiba berbelok menjadi obsesi untuk menyusun unggahan yang sempurna demi citra 'dermawan'. Ia juga bisa hadir saat seorang teman datang meminta nasihat; niat awal untuk menjadi pendengar yang baik tergeser oleh ego yang menikmati posisi sebagai 'sang bijak', membuatmu lebih sibuk pamer kepintaran daripada sungguh-sungguh merasakan keresahannya. Bahkan di lingkungan kerja, niat untuk berkarya sebaik mungkin bisa dengan mudah diracuni oleh keinginan untuk menjatuhkan rekan lain agar kita terlihat paling hebat.
Dalam nasihat yang pernah kudengar dari orang sepuh di Jawa, hal ini dapat diistilahkan dengan 'salin srengat', beloknya niat dan perilaku seseorang dari baik menjadi tidak baik. Mungkin kamu bisa mengelaborasinya kapan-kapan.
Tuhan tidak pernah benar-benar "pergi". Kehadiran-Nya adalah cerminan dari kemurnian hatimu. Ketika hatimu menjadi keruh oleh ego dan pamrih, cermin itu menjadi buram. Cahaya-Nya tak lagi bisa terpantul.
Maka, mungkin pertarungan spiritual terbesamu bukanlah melawan kejahatan di luar sana, melainkan melawan bisikan-bisikan di dalam dirimu sendiri.
Pertanyaannya kini untuk kita renungkan bersama, sobat: Seberapa sering kamu, tanpa sadar, telah 'mengusir'-Nya?
Salam,
Agus Tri Yuniawan