Sang Nahkoda yang Mabuk Angin
Ia berdiri di anjungan, bukan untuk memandang peta tujuannya, melainkan untuk mengamati dengan cemas kapal-kapal lain di cakrawala. Ketika ia melihat sebuah kapal lain di kejauhan dengan lincah mengubah haluan ke timur, kepanikan seketika menjalari dirinya. “Kita akan tertinggal!” serunya dalam hati. Ia begitu takut dibilang nahkoda yang kolot, yang kapalnya kaku dan tak bisa mengikuti zaman.
Namun, pelayaran ke arah timur itu tak pernah berlangsung lama. Sepoi angin dari arah lain akan datang membisikkan kabar baru. Sebuah gema dari pelabuhan seberang, atau komentar dari seorang kelasi yang baru ia temui, sudah cukup untuk membuatnya goyah. Ia akan berpikir ulang, ragu, lalu panik lagi.
“Putar haluan! Cepat! Kita salah arah!” teriaknya lagi, dengan napas yang sama terengah-engahnya seperti perintah sebelumnya.
Di dek bawah, para awak kapal hanya bisa saling berpandangan dalam diam. Tali-temali yang baru saja diikat kencang, kini harus mereka lepas paksa. Peta yang baru saja digelar, kini harus dilipat kembali. Arah mana sebenarnya yang hendak dituju? Tak ada yang tahu. Energi mereka terkuras bukan oleh badai di lautan, tetapi oleh badai kepanikan sang nahkoda.
Masalahnya, sobat, bukanlah pada angin yang berubah-ubah. Lautan memang penuh dengan angin dan gelombang yang tak terduga. Masalahnya juga bukan pada para awak kapal yang setia. Masalah sesungguhnya terletak pada sang nahkoda itu sendiri.
Fondasi pemahamannya tentang navigasi begitu rapuh. Ia tidak pernah benar-benar memegang peta tujuannya sendiri. Ia tidak memiliki sauh keyakinan yang tertancap kuat di dalam hatinya. Kepemimpinannya bukanlah sebuah perjalanan yang terarah, melainkan serangkaian reaksi panik terhadap apa yang ia lihat dan dengar dari luar.
Dan akhirnya, yang paling lelah dalam pelayaran tanpa arah ini adalah para awak kapalnya. Semangat mereka terkikis bukan oleh ganasnya ombak, tetapi oleh perintah yang silih berganti tanpa jeda. Sebuah kapal terkuat sekalipun akan oleng dan kehilangan arah jika nahkodanya tidak berani percaya pada kompasnya sendiri. Dan para awak yang paling hebat pun akan kelelahan jika setiap hari dipaksa menari mengikuti irama angin yang tak pernah menentu.
Salam,
Agus Tri Yuniawan