"Subjektivitas" yang Kekal

Di perempatan Pasar Sambi sempat macet pagi tadi. Pasalnya banyak orang turun ke jalan untuk memunguti jeruk yang berceceran. 

Tono : "Di, tadi kok macet rame banget ada apa to?"

Nardi : "O itu, orang-orang ramai mungutin jeruk. Ada dagangan yang tumpah ke jalan tadi".

Tono : "Ceritanya bagaimana?"

Nardi : "Itu ada yang jualan jeruk bawa motor, keranjangnya nyrempet, jadi jeruknya tumpah, orang-orang mungutin terus dibawa pulang"

Tono : "Wah, kasihan ya yang jualan, udah tumpah, eh diambilin ga dikembaliin sama orang-orang"

Nardi : "Tapi itu keranjang bisa nyrempet karena penjualnya ugal-ugalan naik motornya. Pas lampu merah maksa jalan. Akhirnya nyrempet becak yang dari kanan"

Tono : "Yaah, kalau begitu salah dianya. Ga disiplin lalu lintas sih. Dapat pelajaran langsung. Ga jadi kasihan aku, haha."

Nardi : "Iya juga, ya. Emm, tapi yang jualan jeruk tadi bapaknya pacarmu"

Tono : "...."

~~~

Pak Hilal, dosen saya dulu pernah bilang, "sampai kapan pun yang namanya subjektivitas itu tak akan pernah hilang". Artinya selama kita masih berhubungan dan berinteraksi dengan manusia, maka hal ini akan tetap ada. Berapapun kadarnya, hal ini akan terus ada. 

Maka yang menjadi jalan pertengahan adalah memandang dari konteks yang melekat. Dari sana dimunculkan beberapa perspektif dari variabel-variabel yang terlibat. Dan akhirnya dihadirkan sebuah sikap kerendahhatian untuk mengakui kekurangan diri. 

Akhir pena, meski kata "subjektivitas" belum ada di KBBI, dan walau coretan ini berantakan kalimatnya, tapi setidaknya saya lega telah menulisnya. Haha.

Salam,
Agus Tri Yuniawan