Membungkam Suara Hati

Pernah nggak suatu waktu kamu berkata pada dirimu sendiri, "wah, sebelumnya udah kepikiran, harusnya tadi aku begini,", "haduh, aku sudah merasa, mestinya aku tadi begitu." dsb. 

Konteks kalimat tersebut adalah ketika kamu urung melakukan sesuatu, padahal sudah ada feeling sebelumnya. Sudah ada bayangan yang ingin dilakukan, ataupun sudah ada kecenderungan pilihan ketika akan memutuskan sesuatu, tetapi akhirnya yang dilakukan, dipilih, atau yang diputuskan bukanlah hal yang dirasakan di awal.

Maka itu adalah berkaitan dengan kata hati. Tolong koreksi jika aku salah, setahuku kata hati yang pertama adalah suara yang paling jujur, paling bening. Dan biasanya ketika nantinya sudah terjadi, telah terkonfirmasi dengan kenyataan yang ada, maka ternyata kata hati yang pertama tersebut adalah benar.

Namun ada kalanya, dalam beberapa kesempatan, seseorang mengabaikan kata hati yang pertama. Sesaat setelah kata tersebut muncul, ia justru membenturkannya dengan kata-kata lain dari pikirannya. Hasilnya adalah pembenaran-pembenaran sehingga ia tidak mengikuti kata hati tersebut. Akhirnya yang terjadi adalah sebagaimana di awal tulisan ini.

Memang, Tuhan menciptakan perangkat bernama hati dan akal agar saling melengkapi. Akal bisa mendukung, memvalidasi dengan ilmu, dan turut menguatkan kata hati dalam setiap pengambilan keputusan. Maka, semakin sering kata hati diabaikan, semakin sering suara hati dibungkam, maka kecenderungannya ia tidak akan sepeka dulu lagi. 

Semuanya tentu perlu proses latihan yang panjang, perlu ilmu "titen" dalam istilah orang Jawa, sehingga mampu mengolah yang terbaik hati dan akalnya, endingnya seseorang semakin mengenal dirinya sendiri.

Akhirnya, kewajiban kita hanyalah berusaha. Semua perangkat adalah milik-Nya, dan kita kembalikan setiap hal yang timbul pada-Nya pula. Alhamdulillah.

Salam,

Agus Tri Yuniawan