Garan Moncer

(lingkup tulisan ini adalah area kampung, yaa)


"wah mas, rajin banget nyapu. gimana kabar ibu, sehat?"

"wah, sudah pulang dari kantor, Pak?"

"monggo, Pak RT, silakan lewat"

Nah, mari pahami bahwa dialog tersebut kita pahami dari sudut pandang bahwa orang yang disapa sebenarnya biasa-biasa saja. Maka poin yang hendak kusampaikan dalam coretan ini adalah, bisa jadi kita ini dihormati dan disegani orang lain karena memandang keluarga, pekerjaan, ataupun pangkat yang kebetulan kita miliki, bukan karena sebagaimana adanya kita.

Oleh karenanya, di dalam masyarakat sering dijumpai bahwa orang kaya lebih dihormati daripada orang miskin, pejabat lebih dihargai daripada office boy, anaknya pak lurah lebih disopani daripada anaknya tukang ngarit, seperti itu kecenderungannya.

Maka ketika orang semakin tinggi kesadarannya, ada sudut pandang yang lebih arif, yakni dengan melihat bahwa setiap orang yang dijumpai adalah hamba Tuhan. Kalaulah dia bertemu pak lurah, dia mengatakan "o beliau adalah hamba Tuhan, yang kebetulan dikasih amanah sebagai lurah". bertemu orang kaya juga begitu, "beliau adalah hamba Tuhan, yang dititipin harta yang lebih banyak", dsb dsb. 

Dengan cara pandang demikian, harapannya adalah orang menjadi enjoy ketika bertemu orang lain, lebih bijaksana dalam memperlakukan siapapun, lebih peka dalam menempatkan diri. Kalaulah berada pada posisi sosial yang lebih tinggi, yang kebetulan dihormati orang karena ini itu, maka semoga itu bisa mengurangi potensi sombong, mengurangi potensi meremehkan orang lain. Ya karena memang pada hakikatnya semua orang posisinya sama, sebagai hamba Tuhan. 

Terakhir, menghormati orang karena keluarganya, kekayaannya, jabatannya, dll, itu manusiawi kok, dan wajar. Oleh karenanya dalam keseharian masyarakat ada istilah "garan moncer", yang berarti sesuatu keadaan baik yang membanggakan, yang menimbulkan suasana psikologis puas, yang dengannya itu menjadi dihargai dan dihormati orang lain.

Namun demikian, untuk menunjukkan bahwa kita adalah orang yang beriman, maka kondisi yang demikian bisa kita ungkapkan dalam kalimat imajiner "oh, orang kaya, alhamdulillah, bisa nyumbang lebih banyak saat membangun tempat ibadah. oh anaknya pak haji, pak haji orangnya baik dan suka menolong. oh jadi lurah, sehingga suaranya bisa lebih didengar saat mengajak orang untuk berbuat kebaikan", dsb. Kita pun dengan menghormati orang yang telah berbuat baik, maka itu sebagai ungkapan terima kasih kita, rasa syukur kita, karena dengan bersyukur kepada orang yang berbuat baik, maka sesungguhnya kita bersyukur kepada Tuhan. Alhamdulillah~

Salam,
Agus Tri Yuniawan