Tidak Ikhlas Itu Capek

Ketika mulai membandingkan, maka mulailah muncul penilaian. Nilai tersebut bisa positif dan bisa juga sebaliknya.

Ada sepasang orangtua sepuh yang memiliki tiga anak. Orangtua tersebut memiliki sawah yang digarap bersama-sama dengan anak-anaknya. Jika panen, setiap orang mendapatkan bagian yang sama. Anak pertama jarang membantu di sawah. Ia lebih sibuk dengan aktivitasnya di bengkel. Anak kedua totalitas menggarap sawah. Mulai dari menyiapkan bibit, menyewa tenaga tandur, memupuk, sampai panen, ia lakukan semuanya. Hal ini pun juga tidak mengganggu kegiatannya di pasar. Sedangkan anak ketiga, ia 'spesial'. Saat menyiapkan lahan hingga menjemur gabah, ia tak pernah sekali pun ikut membantu. Namun giliran gabah sudah kering dan siap giling, ia nomor satu yang mengambil bagiannya.

Fokus pada apa yang diceritakan diatas, tentunya situasi yang demikian terdapat ketimpangan. Sama-sama melakukan pekerjaan, anak kedua melakukan porsi tugas yang lebih banyak dibandingkan yang lain. Hardwarenya sama, mereka bertiga sama-sama sehat, sama-sama lengkap anggota badannya, dan semua berfungsi dengan normal. 

Pada suatu waktu, anak kedua pernah membandingkan dirinya dengan kedua saudaranya. Tetapi justru yang terjadi adalah perasaan berat, mau ke sawah saja rasanya setengah-setengah. Sekejab ia berandai-andai tidak melakukan apa-apa, tetapi tetap mendapatkan bagian dari hasil panen. Namun sebuah nasihat menyadarkannya. Bahwa segala kemampuan, modal, dan semua yang menggerakkan sehingga ia bisa menggarap sawah dengan baik, bisa berbakti pada orangtua, semua itu adalah karunia Tuhan.

Tenaganya, pikirannya, harta yang ia keluarkan, waktu yang ia gunakan, semuanya adalah karunia-Nya. Kalaulah Tuhan mau, bisa saja ia ditakdirkan menjadi orang yang tidak memberi manfaat apa-apa pada orang lain, tidak mampu bekerja, tidak punya harta, tidak bisa kemana-mana, dll. Namun ternyata tidak seperti itu kan?. Dengan demikian anak kedua tersebut bisa mengurus sawah, bisa mengerjakan kegiatan di pasar, mampu merawat kedua orangtuanya yang sepuh, dsb.

Akhirnya, pemahaman bahwa semua yang bisa dilakukan adalah karunia dari Tuhan, maka inilah yang menjaga anak kedua tersebut untuk tetap ikhlas. Ia pun sudah paham sekarang, ternyata tidak ikhlas itu sungguh melelahkan.