Hubbul Wathan Minal Iman

Bismillah, Alhamdulillah. Semoga kalian sehat selalu, teman-temanku.

Beberapa waktu kemarin, Mas Wildan membuka blog ini, dia bilang, "oh, belum ada catatan baru." Baik, kali ini penulis share sebuah tulisan, oleh-oleh dari ngaji bareng di Masjid Al Barokah Bangunrejo, Tridadi, Sleman, pada malam Sabtu kemarin. Pengajian kali ini bersama Ustadz H. Anis Illahi Wahdati. Terima kasih Ibu Yulia yang membukakan jalan dan kesempatan sehingga kami mendapatkan ilmu yang berharga malam ini. Semoga berkah untuk semuanya.

"Hubbul Wathan Minal Iman", demikian judul yang disampaikan Ustadz Anis pada kesempatan ngaji ini. Beliau ngendiko bahwa tema ini perlu untuk semakin dipahami oleh kita semua. Hal ini dikarenakan kita sedang menghadapi aneka tantangan kebangsaan seperti separatisme, terorisme, narkoba, dan yang marak di era digital ini adalah cyber-crime serta berita hoaks. Hal tersebut berujung pada perpecahan diantara umat manusia. Padahal kita semua telah diikat oleh semangat persaudaraan yang berupa persaudaraan seiman, sebangsa, dan sesama makhluk Tuhan Yang Mahaesa. Komando dari itu semua adalah HATI, karena subyeknya adalah kita semua, manusia.

Sedikit kisah penulis terkait judul ini, dahulu, pernah suatu ketika penulis membuat status whatsapp dengan tulisan "Hubbul Wathan Minal Iman, Cinta tanah air adalah bagian dari iman". Selang beberapa menit ada teman yang menanggapi "Apa iya? Kalau kebersihan sebagian dari iman itu jelas ada haditsnya, lha itu apa ada? Hal itu bisa membuat rancu masyarakat, dasarnya apa? Alangkah baiknya kita melakukan berdasarkan quran dan hadits saja." Teman saya ini memang belum tahu kalau hal ini adalah jargon yang dulu disampaikan oleh Mbah Hasyim Asy'ari, sehingga ini memang bukan hadits. Hanya saja berita-berita yang bertebaran di internet telah mempengaruhi pikiran seseorang dalam merespon sesuatu. Akhirnya kami pun berdiskusi banyak setelah hal ini.

Sebagai manusia, maka tantangan kebangsaan ini perlu dihadapi bersama dengan mengendalikan hati kita masing-masing dalam menjalani kehidupan sosial. Ustadz Anis mengupas tentang lima tingkatan hati manusia. Tingkatan pertama adalah basyiroh, yang disebut juga dengan mata hati. Fungsi basyiroh adalah untuk mengidentifikasi kata hati yang pertama. Contoh riil fungsi ini adalah ketika kita dihadapkan pada kesempatan bersedekah misalnya. Kata hati pertama adalah perasaan ingin berbagi. Kemudian jika kata hati ini tidak segera ditindaklanjuti, maka muncul pertimbangan selanjutnya, baik berupa perhitungan untung-rugi, rasa "eman", dan atau kepentingan-kepentingan lainnya. 

Oleh karenanya, ada tingkatan yang kedua yaitu dhomir. Ia berfungsi memberi perintah untuk melakukan ataupun tidak melakukan, menindaklanjuti kata hati yang pertama atau justru mengabaikan. Setelah seseorang merespon dhomir ini, adalah tingkatan hati yang ketiga yaitu fuad. Ia adalah hakim atas setiap hal yang telah dilakukan manusia. Jika manusia melakukan kebaikan, maka hati akan mengatakan bahwa perbuatannya baik yang akhirnya menimbulkan kedamaian dalam diri manusia. Jika yang dilakukan adalah sebaliknya, maka hati akan menegur bahwa hal ini adalah kesalahan, sehingga timbul rasa bersalah. Oleh karenanya, Ustadz Anis mengajak kita semua untuk sering beristighfar karena tidak ada manusia yang lepas dari kesalahan.

Tingkatan hati yang keempat adalah asror. Ia memunculkan kekuatan pada diri manusia untuk semakin mendekat kepada Tuhannya. Asror adalah wasilah/ perantara sehingga seseorang menjadi dekat dengan Allah. Sampai pada tingkatan yang kelima yakni latifah. Ia sangat halus tetapi powerfull. Karenanya seseorang dapat menerima berita-berita langsung dari langit. Tidak setiap orang sampai pada akses tingkatan ini. Para nabi dan wali/kekasih Allahlah yang memilikinya.

Perasaan cinta pula timbul dari hati. Dengan mengetahui tingkatan hati ini pula manusia semakin mengenal dirinya. Man arofa nafsahu faqod arofa Robbahu, beliau melanjutkan bahwa "barangsiapa mengenal dirinya, maka sungguh ia mengenal Tuhannya. "Oh, Tuhanku tidak menginginkan aku membuat perpecahan. Oh, Tuhanku melarang aku mencuri. Ya, Tuhanku menyuruh aku menyebarkan berita baik, dan sebagainya dan sebagainya."

Akhirnya, dengan memiliki rasa cinta terhadap tanah air ini, kita semua sadar untuk bersama-sama menjaga dan memelihara keutuhan bangsa dan negara. Jika ini dijalankan dengan baik, maka bangsa dan negara Indonesia akan panjang umurnya, yang nantinya mewariskan keindahan untuk anak, cucu, dan generasi-generasi berikutnya. Alhamdulillah.
Salam,
Agus Tri Yuniawan