Pembenci dan Pecinta

Sahabatku, pembenci dan pecinta selalu ada dalam kehidupan. Status ini bisa disandang oleh siapapun termasuk diri kita. Apa sih urgensinya sehingga penulis tergerak untuk menyoal tentang hal ini?

Sahabatku, misalkan ada dua orang, yang satu adalah pembenci dan lainnya adalah pecinta, tentulah kita tidak bisa melihatnya secara fisik, karena perbedaan terletak didalam hati mereka, dan ini tidak kasat mata. Pun tak dapat dipungkiri bahwa lahirnya tindakan-tindakan lahiriyah itu pun bermula dari hati. Itulah mengapa sepertiga urusan agama mengatur tentang sesuatu yang tidak nampak ini.

Baik, mari kita ingat kembali kisah tentang seekor katak dan cicak dalam sejarah Nabi Ibrahim 'Alaihissalam. Ketika beliau dibakar oleh Namrud, seekor katak demikian inginnya menolong beliau. Lalu singkat cerita dia mengisap air dari sungai, menyimpannya dalam tembolok, lalu menyemburkannya kedalam api yang demikian membara. Ia lakukan itu berulang-ulang sampai kelelahan, dengan harapan agar kekasih Allah ini selamat dari kobaran api. Namun di sisi lain, cicak justru menghembus-hembuskan udara seperti orang yang meniup tungku masak.

Sahabatku, yang dilakukan katak tersebut adalah sesuatu yang sangat kecil. Meski ribuan katak yang datang dan melakukan hal yang sama pun, sama sekali tak akan berarti, alih-alih memadamkan api. Pun demikian halnya dengan yang dilakukan cicak. Mau ditiup sekuat apapun, meski didatangkan pula jutaan cicak tetap tidak akan membuat api semakin berkobar, karena api sudah sangat besar. Namun yang menarik adalah status yang disandang oleh masing-masing mereka. Katak menyandang status sebagai pecinta dan cicak adalah si pembenci. Hal inilah yang membuat Allah memberi apresiasi kepada si katak.

Sahabatku, dalam kehidupan ini pun demikian. Ketika kita diberikan kekuatan sehingga mampu melaksanakan shalat misalnya, meski belum bisa sempurna, masih ingat ini, masih ingat itu, kadang-kadang lupa, bacaan belum hafal, gerakan masih ragu apa sudah benar atau belum, tetapi kita tetap melaksanakannya, itu masih lebih baik daripada tidak mengerjakan sama sekali.

Kita memberi pada pengemis atau anak yatim meski cuma dua ribu atau lima ribu misalnya, itu sudah lebih baik daripada mengusir. Karena dengan memberi dan tidak mengusir itu kita sudah terhindar dari status pendusta agama.

Maka inilah urgensinya hal tersebut, yang dengan itu pula Allah sangat mengapresiasi isi hati kita. Kita beribadah 60 tahun, 70 tahun, dsb, tetapi Allah mengganjar kita dengan surga yang abadi. Kalau orang mengandalkan amal saja, tentu surga hanya bisa dirasakan setara dengan lamanya orang itu beribadah. Tetapi karena isi hati seorang mukmin ini, yang didalamnya berisi "andaikan aku hidup selamanya, aku tetap beribadah hanya kepada Allah", inilah yang dihargai oleh Allah kepadanya. Maka Nabi berkata, "innamal a'maalu binniyat", karena niat dalam hati itu sangat diperhitungkan.

Akhirnya saudaraku, meski kita belum bisa shalat dengan baik, meski belum bisa infak dengan baik, tapi kita tetap shalat. Meski masih berat lah, masih bolong-bolong lah, itu tetap lebih baik daripada tidak sama sekali. Sekalipun memang kita tetap terus berupaya menyempurnakannya. Maka ibarat kata, meski jalan terseok-seok lah, kaki terseret-seret lah, bahkan ngesot sekali pun, kita statusnya terus bergerak menuju Allah. Dan Allah Maha memperhitungkan segala yang ada, termasuk isi hati kita. Semoga kita menyandang status sebagai pecinta, bukan sebaliknya. Alhamdulillah.

Salam,
Agus Tri Yuniawan