Raja di Hutan, Badut di Sirkus

Pembaca yang budiman, pasti tahu singa, ya? Aumannya begitu menggelegar. Penampilannya sangar, membuat hewan lain pergi menghindar. Bahkan manusia pun bergidik ketakutan, manakala berjumpa tanpa perlindungan.

Ya, dialah si raja hutan. Karnivora dengan taring dan cakar yang menawan, membuat tak satu pun hewan berani menyerang duluan.

Namun ketika jagoan yang satu ini berada di arena sirkus, ia bahkan tak kuasa menghadapi seorang pawang, sekalipun kawanannya banyak tak terbilang. Orang-orangpun sorak sorai, bukan lagi karena ketakutan, melainkan terhibur dengan aksi lucu nan menggelikan.

Ya, si raja hutan kini menjadi badut. Suara cetar pecut sang pawang membuat nyalinya ciut. Ia tak berdaya lagi. Sekalipun taring dan cakar masih terpaut, tetapi insting dan keberaniannya mengkerut.

Pembaca yang budiman, dari fenomena ini manusia dapat mengambil pelajaran. Bahwa sehebat-hebatnya orang yang mengaku hebat, ia merasa menjadi hebat karena berada di lingkungan yang mendukung dirinya. Ia merasa menjadi “menangan” karena hadirnya orang-orang yang memang tidak semenang dia.

Seorang ahli IT yang berada di tengah-tengah ibu-ibu bakul sayur, merasa bahwa dirinya lebih hebat dan lebih mujur. Seorang insinyur yang duduk diantara bapak-bapak buruh bangunan, merasa dirinya lebih pintar dan lebih berpendidikan. Seorang konglomerat paling kaya di kampung, merasa jaim dan gengsi ketika ngobrol dengan pemuda serabutan yang sesekali jadi relawan.

Namun, tak ada seorangpun yang mengerti catatan takdir selanjutnya. Ketika sekonyong-konyong lempengan bumi bertumbukan, luapan tirta menyapu rumah dan isinya, tanah merekah menganga menghanyutkan segala yang ada di atasnya.

Ternyata ibu-ibu bakul sayur itu yang mendatangkan logistik makanan dari kawan-kawan sesama bakul sayur dari kota sebelah. Ternyata bapak-bapak buruh bangunan itu yang mulai bergerak menyusuri reruntuhan dengan naluri buruh bangunannya. Ternyata pula pemuda serabutan itulah yang kini menjadi pionir bersama kawan-kawannya, menyelamatkan si ahli IT, insinyur, dan konglomerat beserta keluarganya yang terpisahkan oleh puing yang berserakan.

Tulisan ini bukan untuk mengunggulkan profesi satu dengan yang lainnya, tetapi bagaimanapun juga kita pasti membutuhkan pertolongan Allah melalui orang lain.

Luka Lombok belum juga kering, kini disusul goresan baru di Palu dan Donggala. Uang dan perhiasan tak dapat dimanfaatkan. Emas dan perak tak mampu mengenyangkan perut yang keroncongan. Solidaritas dan uluran tangan yang dibutuhkan. Perhatian dan motivasilah yang menguatkan. Disamping tentunya makanan dan minuman.

Pembaca yang budiman, sudah bukan masanya lagi merasa paling tinggi. Bukan waktunya lagi saling mengejek dan merendahkan. Apalagi menebarkan hoax dan ujaran kebencian. Sudah tidak “ungsum”, kata orang Jawa.

Di akhir zaman ini, yang baik pun terlihat jelek, apalagi yang benar-benar jelek. Jangan jumawa, singa menjadi raja karena ia di belantara. Jangan lagi membusungkan dada ketika ia di lingkungan manusia. Bahkan dengan pecut saja ia tak berdaya.

Kini manusia yang berkuasa atas si singa. Namun sekuasa-kuasanya manusia, sesangar-sangarnya singa, masih kalah dengan nyamuk kecil yang hina. Karena ternyata ialah yang meruntuhkan kesombongan Namrud yang melegenda.

Pembaca yang budiman, seperti kata Ebiet G Ade, mari kita singsingkan baju, singkirkan debu yang masih melekat, akhirnya kita tunduk dan sujud kepada Allah subhanahu wata’ala.

Salam,
Agus Tri Yuniawan

Pernah dimuat di Website Resmi LP Ma'arif NU DIY
https://www.maarifnudiy.or.id/ruang-guru/raja-di-hutan-badut-di-sirkus/