MENGAMBIL PEMBANDING YANG TEPAT

Ending dari tulisan ini adalah mengajak agar kita menjadi pribadi yang lebih percaya diri dan bersyukur. So, mari kita simak sampai akhir dan jika perlu didiskusikan.

Teman-teman, dalam kehidupan ini kita dihadapkan pada situasi dan kondisi yang berbeda satu dan yang lainnya. Dengan adanya perbedaan itu, terkadang manusia membandingkan dirinya dengan yang lain, atau membandingkan orang satu dengan yang lainnya. Aktifitas membandingkan tersebut ada yang memberdayakan, tetapi ada pula yang justru melemahkan. 

Membandingkan seringkali merupakan aktifitas yang berjalan secara alami, spontanitas, dan merupakan naluri manusia. Sesuatu dapat dibandingkan manakala ada hal lain sebagai pembanding. Agar dapat memberdayakan, maka seseorang perlu mengambil pembanding yang tepat. 

Baik, untuk lebih memahami hal tersebut, mari kita ambil ilustrasi.

Seseorang merasa tubuhnya pendek. Hal ini karena ada pembanding yaitu teman lain yang mempunyai tubuh lebih tinggi. Ada pula seseorang yang merasa kulitnya hitam, manakala ada orang lain yang memiliki warna kulit yang lebih cerah. Seseorang merasa pendapatannya pas-pasan, karena kenyataan menunjukkan ada orang lain yang pendapatannya jauh lebih banyak.

Itu adalah beberapa contoh sederhana dalam kehidupan nyata. Hal ini bisa diperluas dengan contoh lain seperti kekayaan, kepintaran, jabatan, kekuasaan, pasangan hidup, dsb dsb. 

Jika kita membandingkan diri dengan orang lain yang lebih unggul dalam suatu hal, maka bisa dipastikan kita akan minder, takut, dan merasa rendah diri. Itu adalah naluri umum manusia. 

Namun beda halnya jika kita memiliki sudut pembanding yang tepat. Misal: aku dan dia adalah sama-sama manusia, aku dan dia adalah sama-sama makhluk Allah. Dia mempunyai rasa sedih, senang, takut, dll, begitu pula diriku. 

Dengan mengambil pembanding yang demikian, artinya kita meminimalkan kesenjangan yang ada. Maka kita menjadi lebih merasa ringan dalam menjalin komunikasi, menjalin relasi, dan hubungan kemanusiaan yang lain. Pada siapapun, entah pada guru, dosen, pejabat, tokoh-tokoh tertentu, yang jelas manusia. Segan? Iya, hormat? Pasti. Tapi tidak sampai pada level takut, minder, atau rendah diri. Dengan demikian, insyaa Allah kita menjadi lebih PD berinteraksi dengan siapa saja. 

Akhirnya, setiap orang sejatinya memiliki komposisi perasaan yang sama, perangkat yang sama yaitu hati dan pikiran, yang berbeda hanyalah manajemen masing-masing. Begitu pula dalam hal materi. Maka kaidahnya:

"Lihatlah kepada orang yang keadaannya dibawahmu supaya kamu bersyukur"

Orang kaya ataupun miskin mengalami sedih dan senang, begitu pula bos dan karyawan, pimpinan dan yang dipimpin, mahasiswa dan dosen, dan sebagainya selagi ia masih sebagai manusia. Itu adalah wujud kasih sayang Allah kepada setiap makhlukNya, dan Dia ridho kepada hambaNya yang bersyukur. Alhamdulillah.

Salam,
Agus Tri Yuniawan