SAYA BUKAN PENDUDUK ASLI SINI

Teman-teman, ketika membaca judul tersebut, apa yang teman-teman pikirkan?

Baik, mungkin ada bermacam-macam gambaran yang terpikirkan, tetapi topik yang hendak kami sampaikan melalui tulisan ini adalah tentang hakikat kehidupan.

Kadang kita mendengar berita duka, "Telah meninggal dunia bapak Fulan bin Fulan ......". Disebut meninggal dunia karena disini hanyalah tempat singgah dan suatu saat pasti kita akan mudik ke tempat asal. Sebagaimana kita semua tahu, bahwa mudik itu membutuhkan bekal. Dunia ini adalah tempat untuk mencukupkan bekal perjalanan kesana.

Memang apa tujuan kita membahas soal ini? Perlukah?

Teman-teman, saat ini kita hidup di zaman materialistis. Dimana sekat-sekat kehidupan nampak blur sehingga ukuran baik-buruk, mulia-hina, dll seringkali diukur dengan seberapa materi yang dimiliki seseorang. Kita tidak heran dengan situasi yang demikian, karena munculnya sudut pandang materi ini telah dimulai sejak orangtua memberikan pendidikan pada anaknya.

Ketika orangtua hendak menyekolahkan anak-anaknya, sebagian dari mereka mempunyai niat agar nantinya anak-anak dapat memperoleh pekerjaan yang baik, yang penghasilannya mampu memenuhi kebutuhan hidup, akhirnya dapat hidup mapan dan bahagia. 

Niat tersebut tidak salah, hanya saja terdapat satu hal esensi/ pokok yang terlewatkan, yaitu tentang tujuan hidup sebenarnya. Baik, kami sajikan ilustrasi kisah nyata yang dialami oleh beberapa teman.

Teman kami mempunyai anak-anak bisa dikatakan sukses. Diantara mereka ada yang menjadi polisi, pengusaha, ASN/ PNS, dll. Intinya dalam hal keuangan sudah cukup bahkan berlebih. Namun dari diskusi kami, ternyata teman kami tersebut merasa "cemburu" melihat orang lain yang mempunyai anak yang gemati dengan orangtuanya, selalu ada waktu menemani, dan menjadi teman cerita yang baik, meskipun secara keuangan tidak sesukses anak teman kami tadi.


Dari ilustrasi tersebut dapat kita ambil hikmah, bahwa materi itu memang diperlukan untuk menunjang kehidupan dunia, tetapi materi tidak dapat menggantikan gemati-nya anak terhadap orangtua, perasaan nyaman, perhatian, dllsb. Justru hal-hal seperti ridhonya orangtua, doa, ketenangan-ketenteraman-kasih sayang (sakinah-mawadah-warahmah, sebagaimana doa yang diberikan pada pengantin), hal itu adalah esensi yang dapat dijadikan sarana menggapai bekal untuk pulang nantinya.


Mengapa kesadaran kita belum begitu memperhatikan hal ini?



Pertama, karena kita masih muda. Kita masih menganggap bahwa materi itu 'seksi'. Semakin banyak materi, semakin turah, maka semakin mantab dan menaikkan prestis dan kepercayaan diri. Kedua, secara fisiologis otak kita juga masih sangat aktif dan semangat untuk mewujudkan cita-cita yang ada. Hal ini merupakan sunatullah, wajar adanya, karena desain yang diberikan Allah atas diri kita memang demikian. 

Maka tulisan ini tidak bermaksud "nggembosi" teman-teman yang saat ini sedang semangat menggapai asa, tetapi untuk membukakan wawasan kembali tentang bekal sesungguhnya yang akan kita bawa kelak. Mari belajar, mari bekerja, tetapi jangan lupa bahwa tujuan utama kita diciptakan di dunia ini adalah untuk beribadah. Maka shalat adalah ibadah, bekerja yang jujur adalah ibadah, berbakti pada orangtua adalah ibadah, menjaga kerukunan juga adalah ibadah. Saya, njenengan, dan kita semua bukanlah penduduk asli disini, suatu saat pasti mudik, pulang. Bekal yang dibawa ketika mudik dikumpulkan di dunia ini menurut petunjuk dan rambu-rambu yang benar. 

Secara subyektif manusia mampu menilai baik atau buruk, benar atau salah, layak atau tidak layak, mulia atau terhina, tetapi secara obyektif kita semua telah diberikan rambu-rambu oleh Allah melalui agama yang mulia ini.

Selamat menjalankan ibadah puasa teman-teman. Sampai berjumpa lagi saat kita mudik nanti, di kampung halaman tempat pendahulu kita, Nabi Adam 'alaihissalam diciptakan, yaitu di surga yang kekal abadi. Aamiin.

Salam,
Agus Tri Yuniawan