Orang Bijak dan Mesin Waktu
Sobat, andai kamu punya mesin waktu, apa yang akan kamu lakukan? Mungkin sebagian dari kita akan kembali ke masa lalu untuk memperbaiki sebuah penyesalan. Atau mungkin, melompat ke masa depan untuk mengintip nasib, sekadar untuk memuaskan rasa penasaran.
Tapi, bagaimana kalau aku bilang, sebenarnya ada sekelompok orang di antara kita yang seolah-olah memiliki mesin waktu itu setiap hari? Mereka tidak datang dari masa depan dengan kapal canggih. Mereka adalah orang-orang bijak yang hidup di sekitar kita. Mesin waktu mereka bukanlah sebuah alat, melainkan sebuah cara berpikir.
Orang bijak, pada intinya, adalah ia yang saat menjumpai sebuah masalah, tidak hanya bertanya, “Bagaimana cara menyelesaikannya?” Ia akan melanjutkan dengan pertanyaan kedua yang jauh lebih penting, “Bagaimana cara menyelesaikannya tanpa menimbulkan masalah baru?”
Pertanyaan kedua inilah kunci dari "mesin waktu" mereka. Sebelum merespons sebuah situasi, mereka seolah menekan sebuah tombol, melesat ke masa depan untuk melihat dampak dari setiap pilihan respons yang bisa mereka berikan.
Bayangkan skenario ini di tempat kerja. Kamu melihat seorang rekanmu melakukan sebuah kesalahan. Naluri kita mungkin ingin langsung menegur atau bahkan menyalahkannya. Orang bijak akan mengambil jeda sejenak. Dalam jeda itu, "mesin waktunya" bekerja, menunjukkan dua kemungkinan masa depan.
Di masa depan pertama, ia melihat dirinya merespons dengan keras dan menghakimi. Apa hasilnya? Mungkin kesalahan itu seketika diakui, tapi ia juga melihat masalah baru yang lahir: rekan kerjanya menjadi demotivasi, hatinya terluka, suasana tim menjadi canggung, dan ia kehilangan kepercayaan. Di masa depan kedua, ia melihat dirinya merespons dengan sabar. Ia dekati rekannya, bertanya baik-baik, dan membantu mencari solusi bersama. Hasilnya? Masalah selesai, dan masa depan yang ia lihat adalah hubungan kerja yang justru semakin solid, rekannya belajar tanpa merasa dihakimi, dan tidak ada masalah baru yang tercipta. Setelah melihat kedua "film" masa depan itu, ia kembali ke masa kini dan tentu saja memilih untuk menjalankan skenario kedua.
Mesin waktu ini juga bekerja di dalam rumah, kawan. Saat seorang suami melihat istrinya melakukan kekeliruan, ia punya pilihan. Ia bisa langsung marah, dan "mesin waktunya" akan menunjukkan masa depan berupa suasana rumah yang tegang, istri yang badmood, dan pelayanan kepada anak-anak yang terganggu. Atau, ia bisa menarik napas, lalu mengingatkan dengan lembut dan penuh kasih. Mesin waktunya akan menunjukkan masa depan di mana rumah tetap menjadi surga yang damai, kekeliruan diperbaiki, dan tidak ada hati yang terluka. Orang bijak akan memilih masa depan yang kedua.
Jadi, sobat, mesin waktu milik orang bijak itu bukanlah sebuah fiksi ilmiah. Ia adalah perpaduan nyata dari kesabaran, empati, dan kemampuan berpikir jangka panjang. Ia adalah disiplin untuk selalu mengambil jeda sebelum bereaksi. Dalam jeda sepersekian detik itulah, mereka "melakukan perjalanan waktu", melihat konsekuensi, lalu kembali ke masa kini untuk memberikan respons terbaik.
Kita semua mungkin tidak punya mesin waktu fisik. Tapi kita semua dianugerahi kemampuan untuk mengambil jeda. Dan dalam jeda singkat sebelum kita merespons itulah, kita bisa melatih kebijaksanaan kita—menjadi penjelajah waktu bagi kebaikan di masa depan kita sendiri.
Salam,
Agus Tri Yuniawan