Terima Kasih Setan

Tulisan ini terinspirasi ketika ada beberapa penceramah yang mengakhiri ceramahnya dengan kalimat "jika ada benarnya maka dari Allah, dan jika ada salahnya adalah dari setan dan diri saya sendiri". Fyi, setan dalam tulisan ini adalah setan sebagai personal, bukan sebagai kata sifat.

Jika pernyataan tsb maksudnya adalah untuk kerendahan hati, menurut saya akan lebih pas jika tidak melibatkan setan pada kalimat terakhir. Alasan pertama adalah tanpa setan pun manusia adalah tempatnya salah. Hal ini sebagaimana hadits nabi bahwa setiap anak Adam pasti berbuat salah (HR. at-Tirmidzi). 

Yang kedua adalah kenyataan di media sosial dengan merebaknya meme setan. Meme tersebut bergambar setan yang sedang membatin "kok bisa ya manusia seperti itu". Hal ini sebagai reaksi dari munculnya berita-berita kriminal dsb. Jika diartikan maka meme tersebut menunjukkan betapa sebenarnya perilaku manusia itu bisa lebih parah daripada setan itu sendiri. 

Hal ini relate dengan ayat yang menyatakan bahwa sebenarnya tipu daya setan itu sangat lemah (QS. An-Nisa': 76). Jadi jika terjadi suatu tindakan kesalahan, maka sebenarnya itu faktor manusia itu sendiri. Akhirnya saya menyimpulkan, saking sayangnya Allah kepada makhluknya yang bernama manusia, maka Ia mengabulkan permintaan setan yang ingin terus menggoda manusia sampai kiamat tiba (QS. Al-A'raf: 14-15). Dengan inilah manusia bisa punya alasan ketika ada pertanyaan "mengapa berbuat salah?" dijawab "karena setan". Manusia punya alibi atas setiap pelanggaran yang ia lakukan. Dan dengan nama setan inilah bopeng-bopeng kekurangan manusia tertutupi. 

Akhirnya, sejatinya manusia itu sendiri yang salah, hingga ia kemudian bersama-sama setan dihukum di neraka. Manusia menjalani hukuman, ada yang dapat remisi, ada yang dapat syafaat, sampai akhirnya bebas dan dimasukkan surga. Sedangkan setan? ah, ia tetap kekal didalamnya ~


Salam,
Agus Tri Yuniawan