MODEM-MODEM WIFI


Coretan ini mungkin terlalu panjang untuk ukuran status fb, tetapi saya mendapatkan hikmah dari hal sederhana ini.


Tulisan ini terinspirasi dari beberapa modem wifi yang berjajar di meja dekat saya berada kemarin siang. Ada teman saya melihat hal tersebut kemudian berkata, "e...modem banyak gitu kok dipakai sendirian to mas" Jawab saya spontan, "meski banyak gini yang terconnect kan ya cuma satu to bu".



Sontak saya merasa, "iya juga ya, tidak semua modem yang berjejer ini terkoneksi satu sama lain., meski kuota ada, baterai full charge, tapi yang bisa terkoneksi dalam satu perangkat juga cuma satu modem, dan sekalipun disandingkan dengan laptop seperti itu bisa jadi si laptop tidak konek dengan ketiganya, tetapi terkoneksi dengan sinyal lain diluar itu."



Pelajaran yang saya dapat adalah, sekalipun antar orang terlihat guyup rukun dalam satu tempat duduk, maka bisa jadi hati-nya tidak nyambung dengan baik. 



Ada kisah nyata yang relevan dengan hal ini, terjadi di kampung saya, ya dikampung asal saya. Ada satu, dua, tiga orang, dan semuanya adalah tokoh masyarakat. Ketika dalam satu perkumpulan, majelis, atau forum, terlihat beliau-beliau ini akrab-akrab saja, baik-baik saja. Namun ketika berpisah diantaranya, saya mendapati satu diantara yang lain itu kadang membicarakan ketidakcocokan yang lainnya. Sementara itu di lain tempat, beliau yang tadi dibicarakan itu juga membicarakan kekurangan yang lainnya dan menunjukkan ketidakcocokannya. Saya tahu hal ini karena kepada sayalah mereka bercerita. 



Lama saya merenung, kok bisa ya?? Akhirnya saya mengambil pelajaran bahwa inilah sebenarnya kelemahan kita, sesuatu hal yang tidak nampak, akan tetapi mampu mencerai-beraikan ikatan. Inilah strategi setan dalam memecah belah umat, yakni dengan memasukkan rasa benci terhadap sesama mukmin. 



Apakah adanya 'rasa benci' dalam diri itu jelek? Enggak juga, karena ini hal yang alami. Karena itulah orang Jawa menyebut manusia sebagai 'manungsa', yang diartikan manunggaling rasa, yakni rasa sedih, rasa gembira, rasa cinta, rasa benci, dll berada dlm diri manusia. Maka disini yang berperan penting adalah hadirnya ilmu. Ilmu itulah yang menjadi alat kawal kita semua dalam menjalani hidup ini. Rasa tidak suka, jika dikawal dengan ilmu, maka ilmu itulah yang menjaga lisan untuk tidak berkata sembarangan, ilmu itulah yang menjaga tangan untuk tidak berbuat yang tidak semestinya.



Namun mengandalkan ilmu saja juga tidak cukup. Kita juga perlu senantiasa memohon hidayah kepada Allah. Mengapa? Karena ilmu yang telah ada pada diri seseorang tidak menjamin orang tersebut dapat mengamalkan ilmu itu. Orang tahu kalau olahraga itu penting, tetapi bisakah untuk rutin mengamalkannya? belum tentu. Orang tahu kalau membenci, berprasangka buruk, hasad, ghibah, dsb itu jelek, tetapi bisakah untuk senantiasa terjaga darinya? Ya belum tentu.



Begitu juga menjaga hati untuk senantiasa cinta terhadap sesama mukmin. Sebagaimana pokok yang merupakan kesempurnaan keimanan, yaitu mencintai sesuatu karena Allah dan membenci sesuatu karena Allah. Itu mudah di ucapkan, mudah di pidatokan, tetapi dalam pelaksanaannya perlu latihan dalam jangka waktu sekian lama, tentunya dengan panduan ilmu dan hidayah dari Allah. Selain itu, mudah dan tidaknya hal tersebut dipraktikkan adalah juga berkaitan dengan karakter dominan seseorang. Ada yang plegmatis, sanguin, koleris dan melankolis.



So, saya berkata pada jiwa saya, jika ada saudara yang kurang kita sukai karena beberapa hal yang kurang pas, berikanlah udzur/ alasan. "O...mungkin teman kita itu baru capek, o... mungkin baru ada masalah, o... mungkin baru khilaf", dan jika memang hal yang kurang pas itu adalah karena memang sudah wataknya, maka udzur yang kita berikan adalah "o... inilah kesempatan saya menutupi aib saudara saya, inilah pintu saya untuk meraih pahala sabar, dll...dll...". 



Mungkin beberapa dari kita pernah mendengar istilah-istilah motivasi "berfikir positif, berprasangka positif, dll", sebenarnya kalau kita merujuk kepada kisah-kisah para sahabat, mereka senantiasa memberikan udzur satu sama lain, sekalipun ada perbedaan diantara mereka. Itu baru sahabat, apalagi Rasulullah. Beliau itu semangatnya menutupi aib sesama, semangatnya memberikan udzur, semangatnya mencari kebaikan. 



Akhir tulisan saya mengajak pada jiwa saya sendiri dan pembaca sekalian, mari kita berusaha mencintai saudara-saudara kita sesama mukmin, mari tutupi kekurangannya, jangan diceritakan kemana-mana sebagaimana kita juga tidak ingin kekurangan kita diceritakan kemana-mana. Jikalau ada dalam hati ini ada rasa yang kurang berkenan terhadap saudara kita, berusahalah memaafkan, berikanlah udzur. Jangan sampai di tempat duduk, di meja makan, di majelis, kita duduk bersama seolah rukun tetapi hati kita menyimpan kebencian dan kedengkian. Jumlah kita secara keseluruhan memang banyak, tetapi akan tiba suatu masa dimana yang banyak itu bagaikan buih di lautan. 



Modem-modem telah memberikan saya pelajaran, dimana yang dekat sekalipun belum tentu terkoneksi. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari itu semua. Selamat berakhir pekan kawan. 



Salam,

Agus Tri Yuniawan